Pada bagian ke dua telah
diceritakan bahwa Mahiga berhasil mengutungi senjata Trisula si brewok.
Keduanya sama – sama terluka dalam. Setelah itu pertempuran akan terus
berjalan. Karena si Trisula Iblis sudah tidak bisa lagi menggunakan senjatanya,
maka Mahiga kemudian menyarungkan kembali pedangnya dan bersiap melayani lawan
dengan tangan kosong.
Suasana hening sesaat, mereka
berdiri berhadap - hadapan saling mengintai kelemahan masing masing. Sesaat kemudian
disertai bentakan keras, si trisula iblis membuka serangan dengan jurus ‘
Telapak iblis mengacau samudra’. Serangan ini bukan kepalang dahsyatnya. Hawa
pengap yang beracun itu seakan membungkus pergerakan Mahiga. Dengan sifatnya
yang mengaduk aduk itulah Mahiga merasakan serangan tersebut sangatlah berbahaya
karena uap hitam yang keluar dari telapak tangan si brewok membuat matanya
tidak jelas melihat posisi lawan berada dimana.
Untunglah saat itu dia tidak panik lalu dengan tenang Mahiga melentikkan tubuhnya keatas sambil mengeluarkan jurus keempat dari 8 ilmu pedang dewa yakni “ dewa pedang mendera iblis ”. Walaupun ditangannya tidak memegang pedang namun sepasang tangannya ini pun sudah seperti pedang geraknya.
Trisula Iblis merasakan angin serangan yang panas mengarah ke kepalanya, lalu dengan jurus “ harimau menerjang benteng” tubuh sibrewok meluncur kedepan bergulingan menjauhi serangan lawan lalu melepaskan sebuah pukulan ke lambung lawan namun Mahiga segera melepaskan pukulan “ dewa badai menghantam karang” dan memapaki pukulan si trisula iblis sehingga membuat keduanya berseru kaget. Si trisula iblis terhuyung – huyung lalu terduduk sementara Mahiga pun tergontai – gontai sambil berusaha untuk berdiri tegak. Si trisula iblis secepatnya bangkit dan bersiaga.
Melihat itu Mahiga mendengus dingin kemudian memperhebat gerak tangannya tanpa memberi kesempatan pada sibrewok untuk menyerang. Telapak tangannya laksana kesiuran mata pedang yang terus mengintai kelemahan lawan, si brewok merasakan sebuah kekuatan yang tidak nampak seakan mengunci setiap gerakannya, maka sulitlah dia bergerak kesana kemari. Sungguh patut dipuji kegagahan si trisula iblis itu, walaupun sudah terjepit keadaannya namun dengan semangat menyala nyala dia masih sanggup meladeni serangan lawan. Sudah beberapa kali kepalanya hampir menjadi sasaran telapak tangan lawan yang dipenuhi oleh tenaga dalam itu.
Dengan mati-matian pula dia menggerakkan tangan menangkis dan adu tenaga walaupun tangannya seperti patah – patah rasanya karena sering beradu pukulan dengan sipemuda namun karena tidak punya pilihan lain mau tidak mau itulah jalan satu – satunya.
Untunglah saat itu dia tidak panik lalu dengan tenang Mahiga melentikkan tubuhnya keatas sambil mengeluarkan jurus keempat dari 8 ilmu pedang dewa yakni “ dewa pedang mendera iblis ”. Walaupun ditangannya tidak memegang pedang namun sepasang tangannya ini pun sudah seperti pedang geraknya.
Trisula Iblis merasakan angin serangan yang panas mengarah ke kepalanya, lalu dengan jurus “ harimau menerjang benteng” tubuh sibrewok meluncur kedepan bergulingan menjauhi serangan lawan lalu melepaskan sebuah pukulan ke lambung lawan namun Mahiga segera melepaskan pukulan “ dewa badai menghantam karang” dan memapaki pukulan si trisula iblis sehingga membuat keduanya berseru kaget. Si trisula iblis terhuyung – huyung lalu terduduk sementara Mahiga pun tergontai – gontai sambil berusaha untuk berdiri tegak. Si trisula iblis secepatnya bangkit dan bersiaga.
Melihat itu Mahiga mendengus dingin kemudian memperhebat gerak tangannya tanpa memberi kesempatan pada sibrewok untuk menyerang. Telapak tangannya laksana kesiuran mata pedang yang terus mengintai kelemahan lawan, si brewok merasakan sebuah kekuatan yang tidak nampak seakan mengunci setiap gerakannya, maka sulitlah dia bergerak kesana kemari. Sungguh patut dipuji kegagahan si trisula iblis itu, walaupun sudah terjepit keadaannya namun dengan semangat menyala nyala dia masih sanggup meladeni serangan lawan. Sudah beberapa kali kepalanya hampir menjadi sasaran telapak tangan lawan yang dipenuhi oleh tenaga dalam itu.
Dengan mati-matian pula dia menggerakkan tangan menangkis dan adu tenaga walaupun tangannya seperti patah – patah rasanya karena sering beradu pukulan dengan sipemuda namun karena tidak punya pilihan lain mau tidak mau itulah jalan satu – satunya.
Matahari sudah condong ke barat,
akan tetapi ditepi sungai Melang itu dua lelaki masih saja saling adu
kesaktian. Tanpa mereka sadari hampir tiga ratus jurus sudah digunakan dalam
bertempur. Sungguh duel yang luar biasa dimana tubuh mereka hanya nampak berupa
bayangan- bayangan yang bergerak kesana kemari laksana kilat menyambar. Batu
batu yang ada disekitar sudah banyak yang hancur akibat pukulan mereka yang
meleset dan masih untung tubuh si gadis yang sudah ditotok lemas oleh si
trisula iblis itu berada agak jauh dari arena pertempuran sehingga tidak
terjangkau oleh tenaga pukulan yang terkadang meleset.
Perlahan namun pasti terlihat
Mahiga mulai unggul menguasai lawan, si trisula iblis alias si brewok sudah
kepayahan dalam bergerak. Sudah terlalu banyak tenaga murninya terkuras akibat
menyambut serangan lawan sehingga berpengaruh pada kecepatan geraknya. Mahiga
pun sebenarnya tidak jauh berbeda dari si brewok, dia juga sudah lelah untunglah
dia masih muda dan tenaga dalamnya masih murni dan tidak mengganggu kerja
otaknya dalam berfikir.
Setelah melihat keadaan lawan. Mahiga kemudian melesatkan tubuhnya di depan si brewok yang sudah bersiap untuk memampaki serangan itu. Dengan gerakan manis Mahiga menggeoskan tubuhnya kesamping dan melancarkan jurus “ dewa murka menjepit gunung “. Dengan kecepatan penuh kedua telapak tangan Mahiga bersilangan membentuk gunting raksasa seolah akan menjepit leher lawan, melihat itu sibrewok berseru tegang lalu menarik kepalanya kebelakang akan tetapi sebuah gerak susulan dari kaki Mahiga tidak dapat dihindari lalu menghantam dada si brewok dengan telak hingga muntah darah dan dengan teriakan ngeri tubuh si brewok terpental kedalam sungai.
Setelah melihat keadaan lawan. Mahiga kemudian melesatkan tubuhnya di depan si brewok yang sudah bersiap untuk memampaki serangan itu. Dengan gerakan manis Mahiga menggeoskan tubuhnya kesamping dan melancarkan jurus “ dewa murka menjepit gunung “. Dengan kecepatan penuh kedua telapak tangan Mahiga bersilangan membentuk gunting raksasa seolah akan menjepit leher lawan, melihat itu sibrewok berseru tegang lalu menarik kepalanya kebelakang akan tetapi sebuah gerak susulan dari kaki Mahiga tidak dapat dihindari lalu menghantam dada si brewok dengan telak hingga muntah darah dan dengan teriakan ngeri tubuh si brewok terpental kedalam sungai.
“ Aaaaaaaa.....!!”
“Byuurrrr.....!!!” terdengar
suara air membuncah ketika tubuh si trisula iblis jatuh kesungai yang dalam
itu. Tidak terdengar apapun saat itu.
Mahiga menghela nafas lega,
sungguh pertarungan yang hebat dan baru kali ini dia mendapatkan lawan tanding
yang setimpal. Sejenak dia memandang ke tengah sungai akan tetapi sosok si
Trisula Iblis sudah lenyap tak berbekas. Dengan tubuh yang sangat lelah Mahiga
terduduk diatas rumput dimana beberapa waktu lalu menjadi arena baku hantam. Sesaat
kemudian dia teringat pada keadaan gadis tadi. Dengan langkah lebar dia menuju
ketempat gadis itu tergeletak. Benar saja, sigadis masih tergeletak tak mampu
bergerak hanya bola matanya saja yang bergerak ketakutan melihat kehadirannya.
Sejenak Mahiga terpesona melihat
kecantikan sigadis malang
itu namun buru – buru dia menundukkan muka jengah karena sudah membayangkan
yang bukan - bukan. Saat ini sigadis
perlu pertongannya.
“ Maaf nona, saya akan
membebaskanmu...”. dengan wajah masih tertunduk Mahiga berjongkok dihadapan
gadis itu dan dengan pengerahan tenaga dalam, ujung jarinya menekan urat besar
di pangkal leher sigadis. Setelah melakukan itu Mahiga beringsut sedikit
kebelakang membiarkan sigadis memulihkan kondisi tubuhnya. Tak lama kemudian
sigadis merasakan dia sudah bisa menggerakkan kembali anggota tubuhnya dan
dengan penuh rasa terima kasih sigadis menghampiri Mahiga yang duduk bersila.
“ Tuan, terima kasih atas
pertolonganmu, kalau tiada tuan yang menolong entah bagaimana nasibku
sekarang..” sambil berlutut gadis itu berkata dengan terisak isak dan
bercucuran air mata.
Mahiga merasa tidak enak
disembahi oleh sigadis, dengan lembut dia menggamit bahu sigadis menyuruhnya
duduk secara wajar.
“ duduklah nona, menolong orang
lain adalah perbuatan para pendekar, dan sudah sewajarnya saya berusaha
membebaskanmu dari iblis itu...” Ujar Mahiga.
Si gadis masih terisak – isak penuh tanda syukur sudah terlepas dari bahaya. Sesaat mereka tidak bicara lagi. Ketika Mahiga mengangkat mukanya kebetulan pada saat itu sigadis juga sedang memandangnya dengan kagum dan haru. Mata mereka bertatapan, walaupun sebentar akan tetapi membuat kedua belah pipi mereka bersemu merah karena malu.
Si gadis masih terisak – isak penuh tanda syukur sudah terlepas dari bahaya. Sesaat mereka tidak bicara lagi. Ketika Mahiga mengangkat mukanya kebetulan pada saat itu sigadis juga sedang memandangnya dengan kagum dan haru. Mata mereka bertatapan, walaupun sebentar akan tetapi membuat kedua belah pipi mereka bersemu merah karena malu.
“Nona, ...” belum selesai Mahiga
berkata, sigadis sudah memotong.
“ Tuan, namaku srikandi, ayah
bundaku memanggilku dengan sri...” ucap sigadis sambil tertunduk malu. Mahiga
menganggukkan kepalanya, hatinya tertarik pada kepolosan gadis itu.
Dia memberanikan diri menatap
wajah srikandi
“ Nona, siapakah orangtuamu dan
dimana rumahmu, akan kuantar kau pulang sekarang...”. tanya Mahiga. Sebenarnya
Mahiga tidak ingin menanyakan hal itu untuk sementara ini karena dia sudah
tertarik pada sigadis, namun lantaran mereka masih diam tak bicara, akhirnya
kata tersebut terlontar juga dari bibirnya.
Srikandi sebenarnya gadis yang
periang dan berotak cerdas. Beberapa saat yang lalu dia sudah menilai pemuda
penolongnya itu berhati baik dan lugu. Dari tutur katanya saja dia sudah
merasakan bahwa sipemuda didepannya itu berasal dari lingkungan baik – baik
sehingga dia tidak khawatir berdua – duaan ditengah hutan bersama tuan
enolongnya itu.
“ Eh tuan, apakah engkau tidak
memberitahukan namamu padaku, padahal engkau adalah tuan penolongku”. Seru
srikandi dengan bibir cemberut mukanya masih merona kemerahan.
Mahiga yang masih hijau dalam
pergaulan antara lelaki dan wanita itu, sedikit tergagap. Lalu sambil
menyunggingkan sebuah senyum dia menjawab
“ Namaku yang buruk ini adalah
Mahiga, aku adalah seorang perantau tak mempunyai tempat tinggal yang tetap ”.
“ kenapa tuan mengatakan nama
tuan itu buruk, padahal setiap orang tua memberikan nama pada anaknya mempunyai
arti dan makna”. Sergah Srikandi. Dia kagum pada lelaki muda yang tampan itu,
tingkah lakunya baik dan selalu merendah.
“ Maaf nona, jangan panggil aku
dengan tuan, aku hanya pemuda miskin dan bodoh. Tidak pantas rasanya dipanggil
tuan”. Mahiga sedikit memprotes. Srikandi tertawa dengan lucu.
Mahiga sesaat terpesona melihat mulut mungil itu tertawa.
Mahiga sesaat terpesona melihat mulut mungil itu tertawa.
“ Tuan lucu juga ternyata, engkau
melarangku memanggilmu dengan tuan, tapi engkau masih memanggilku dengan nona,
bukankah itu sangat menggelikan”. Jawab srikandi sambil tertawa. Mendengar
penuturan sigadis, Mahiga akhirnya ikut tertawa. Setelah puas menertawakan
ketololan mereka itu, srikandi kembali berkata
“ bagaimana kalau kupanggil
dirimu dengan kanda Mahiga saja, bukankah sudah pantas aku memanggilmu demikian
sebab menurut tafsiranku umurmu lebih tua dariku, bagaimana?”
Merah muka Mahiga ketika teringat
akan kata “kanda” seperti yang disebutkan sigadis. Akan tetapi sesaat kemudian
dia menganggukkan kepala.
“ Boleh saja Adik sri kau
memanggilku demikian...” jawab Mahiga. Sementara itu Srikandi merasa hatinya
berbunga – bunga tatkala mendengar pemuda tampan itu menyebutnya dengan Adik
sri, mesra nian. Tak pelak wajahnya kembali merona.
Cinta terkadang bisa tumbuh kapan
saja dan dimana saja dan cinta juga tidak membedakan siapa. Rasa itu bersemi
tak kenal waktu. Maka jangan heran apabila cinta sudah bersemi segala
sesuatunya akan nampak indah.
Begitulah yang dirasakan oleh
kedua insan yang dipertemukan oleh nasib itu. Pada awalnya mereka tak saling
mengenal hingga ketika saling memandang dan bertutur kata perlahan – lahan
suasana yang kaku itu mencair dengan sendirinya.
Begitulah, Sipedang Naga alias
Mahiga masih saja larut dalam nostalgia masa silamnya, sehingga ketika murid –
muridnya sudah selesai latihan dan kembali ke padepokan masing – masing, dia
tidak mengetahuinya walaupun sepasang matanya menatap kedepan kearah lapangan
tempat para murid berlatih. Bahkan tadi salah seorang murid kepala
menghampirinya dan mengucapkan salam, kuping yang biasanya tajam itu sama
sekali tidak bereaksi sehingga si murid kepala itu seperti bertegur sapa dengan
batu.
Dengan penuh hormat akhirnya murid kepala itu mengundurkan diri dan sedikit ngedumel dalam hatinya “ Tumben pak ketua pagi ini tuli, huh...”. Lalu simurid kepala itu berlalu dengan cepat seakan takut bahwa isi hatinya terdengar oleh pendekar sakti gurunya.
Dengan penuh hormat akhirnya murid kepala itu mengundurkan diri dan sedikit ngedumel dalam hatinya “ Tumben pak ketua pagi ini tuli, huh...”. Lalu simurid kepala itu berlalu dengan cepat seakan takut bahwa isi hatinya terdengar oleh pendekar sakti gurunya.
Matahari sudah lama beranjak
meninggi, suasana pagi yang sejuk telah terganti oleh hangatnya matahari siang.
Dari dalam rumah seorang anak kecil berumur delapan tahun berlari bergegas
menuju ketempat Mahiga duduk, ditangannya tergenggam sesuatu yang terus saja
berbunyi.
“ Ayaaahh... barang ini berbunyi
lagi nih..!!” teriak si Anak sambil mengacungkan sesuatu sebesar kepalan
tangan.
Teriakan anak kecil yang
melengking itu sontak membuat Mahiga yang sedang larut dalam lamunan itu
terkejut besar.
“ Maammaaaakkkk...!!!” Tanpa
sadar dia latah berteriak. Tubuhnya terlompat keatas akibat luapan tenaga dalam
yang otomatis keluar dengan sendirinya hingga diluar sadarnya kepalanya kejedut
loteng.
“ Duukk...!!!”
“ Waddaaawww....!!!”
Kembali Mahiga menjerit kesakitan
ketika dirasakan kepalanya sakit. karena benturan dikepala itu mata Mahiga sampai
berkunang – kunang. Tatkala kakinya mendarat ke lantai pun tidak sempurna
sehingga gelas kopi itupun tersenggol dan terpelanting menimbulkan bunyi yang
gaduh.
Akibat suara tersebut beberapa
murid kepala berlarian menuju rumah kediaman guru mereka dengan perasaan cemas
dan bertanya tanya. Akan tetapi tatkala mereka tiba di depan anak tangga rumah,
mereka heran menyaksikan putra tunggal ketuanya sedang tertawa terpingkal
pingkal sementara dilantai mereka melihat ketua mereka itu duduk menjeplok
sambil mengelus elus kepalanya yang sedikit benjol dengan muka meringis.
Sungguh lucu wajah dari Mahiga saat itu.
Beragam ekspresi wajah para murid
yang hadir disitu, ada yang menutup mulutnya menahan geli, ada yang marah pada
sianak kecil itu karena menertawakan orangtuanya dan sebagian lainnya masih
bertanya tanya apa gerangan yang sudah terjadi.
Melihat para muridnya sudah
berkumpul didepan rumahnya, Mahiga cepat berdiri dengan muka dipaksakan
berwibawa,
“ Ada apa sehingga kalian berkumpul disini
tanpa ku panggil...??” dengan keren Mahiga bertanya. Para
murid segera menundukkan muka. Salah seorang murid kepala bernama Gunarda maju
kedepan dengan sikap hormat berkata.
“ Ampunkan murid, Guru. Murid
tadi mendengar suara ribut – ribut dikediaman guru sehingga kami
mengkhawatirkan keselamatan guru...lalu kami berlarian kesini untuk
memastikan”. Jawab Gunarda dengan suara lantang dan diaminkan oleh murid yang
lain.
Mahiga mengelus – elus jenggotnya
lalu berkata.
“ Gunarda, Sekarang engkau sudah
melihat bahwa disini tidak ada musuh menyerang. Entah bagaimana pendapatmu..?”
Gunarda tertunduk sesaat, lalu
dengan lantang dia menjawab.
“ Ampuni murid yang salah menilai
keadaan. Untuk itu murid siap dihukum....!!”
Mahiga lalu memandangi murid
tersebut, dalam hatinya gembira melihat ketaataan Gunarda yang siap menjalani
hukuman akibat kesalahannya. Dia kagum.
“ Sudahlah, kalian tidak
bersalah. Kembalilah kalian kedalam....”. Ucap Mahiga.
“ Baik Guru, murid mentaati
perintah guru...” Jawab Gunarda.Kemudian dia mengajak para murid lainnya segera
meninggalkan pekarangan rumah guru mereka.
Setelah tiada lagi murid tersisa,
Mahiga lalu menghampiri putranya yang masih tersenyum geli menyaksikan
kelatahan ayahnya tadi. sesekali masih saja tertawa.
“ Sanjaya, ada apakah sehingga kau
datang mengagetkan ayahmu?”. Tanya Mahiga sambil menatap wajah anaknya.
“ Ayah, tadi sewaktu aku sedang
menulis, barang ini berbunyi lagi, makanya anak buru – buru menemuimu dan
menyerahkan ini ayah”. Jawab Sanjaya dengan bersungguh – sungguh. Tangan kecil
itu mengangsurkan sebuah benda berwarna hitam.
Mahiga lalu mengambil barang itu
sejenak matanya menatap pada beberapa huruf dan angka yang terpampang didalam
benda itu.
“ Nomor tak dikenal memanggil”
gumamnya perlahan. Sudah ada lima
kali kejadian ini terulang sejak kepulangannya dari negeri sakura dulu.
“ Maksud ayah ...??” Tanya
Sanjaya. Dia juga heran mendengar ayahnya mengucapkan nomor tak dikenal
memanggil. Tapi Mahiga buru buru mengilah.
“ sudahlah sekarang lanjutkan
latihanmu, lain kali kalau memanggil ayah jangan berteriak”.
“ Baik ayah...” jawab Sanjaya.
Walaupun dalam hatinya tidak puas karena pertanyaannya tidak dijawab sang ayah,
Sanjaya berlalu kembali kekamarnya.
Mahiga menghela nafas dan
menghempaskan tubuhnya dikursi. Tangannya masih memegang benda hitam itu dan
benaknya bertanya tanya benda yang ada ditangannya ini termasuk pusaka yang
bagaimana. Matanya menelusuri permukaan benda itu, dia melihat ada tombol –
tombol kecil dan bertuliskan angka dan huruf – huruf kemudian ada semacam layar
yang bertuliskan telkomsel didalamnya dan beberapa tanda – tanda lain yang
tidak dimengertinya.
Mahiga ingat sekali kejadian
dimana barang “pusaka” ini diketemukan. Waktu itu dia sedang melakukan
perjalanan menuju ke timur. Karena perjalanan itu menggunakan kuda pilihan
sehingga negeri ditimur itu dapat ditempuh dalam waktu dua purnama. Mahiga baru
kali ini menapakkan kakinya dinegeri ini dimana penduduknya berkulit putih dan
bermata sipit seperti mengantuk.
Negeri ini bernama jepon. Sebuah
negeri yang dingin karena musim salju telah tiba. Mahiga tertegun melihat
puncak gunung fuji
yang tertutup lapisan salju. Sungguh mengagumkan. Setelah puas memandang,
Mahiga menjalankan kudanya perlahan karena sudah memasuki perkampungan. Orang
yang berlalu lalang disekitarnya memakai pakaian yang tebal dan bertopi bulu
mungkin untuk menghangatkan tubuh disaat hujan salju.
Ada beberapa penduduk menatap pada Mahiga dengan pandangan heran karena merasa asing dalam hal berpakaian. Agak risih juga perasaan Mahiga waktu itu, dan karena tidak ingin dijadikan bahan pandangan mereka, lalu Mahiga menjalankan kudanya dengan sedikit lebih cepat dan berusaha untuk segera keluar dari perkampungan itu.
Ada beberapa penduduk menatap pada Mahiga dengan pandangan heran karena merasa asing dalam hal berpakaian. Agak risih juga perasaan Mahiga waktu itu, dan karena tidak ingin dijadikan bahan pandangan mereka, lalu Mahiga menjalankan kudanya dengan sedikit lebih cepat dan berusaha untuk segera keluar dari perkampungan itu.
Disaat kudanya sudah berada
diujung perkampungan, mendadak telinganya mendengar jeritan tertahan dari
sebuah rumah. Lalu Mahiga menghentikan laju kudanya dan berusaha mempertajam
pendengarannya. Taklama kemudian kembali telinganya mendengar suara bentakan
dan suara barang yang pecah. Seketika jiwa pendekarnya menggeliat. Mahiga mengarahkan
kudanya ke kiri dan menyusuri lorong itu menuju ke sumber suara.
Tidak lama kemudian Mahiga melihat dua orang lelaki kasar berambut gondrong sedang memukul seorang lelaki tua. Wajah pak tua itu sudah bonyok dan mengucurkan darah Sementara itu diruangan dalam terdengar jeritan perempuan. Tanpa basa basi lagi Mahiga segera berkelebat ke arah dua lelaki kasar yang sudah akan melancarkan lagi pukulan kedada pak tua. Mungkin pukulan itu akan segera menamatkan riwayat pak tua tersebut.
Tidak lama kemudian Mahiga melihat dua orang lelaki kasar berambut gondrong sedang memukul seorang lelaki tua. Wajah pak tua itu sudah bonyok dan mengucurkan darah Sementara itu diruangan dalam terdengar jeritan perempuan. Tanpa basa basi lagi Mahiga segera berkelebat ke arah dua lelaki kasar yang sudah akan melancarkan lagi pukulan kedada pak tua. Mungkin pukulan itu akan segera menamatkan riwayat pak tua tersebut.
Kedua lelaki kasar itu tersentak
kaget karena kedua kepalan tangan yang sudah diarahkan ketubuh korban tertahan
diudara. Sekuat tenaga mereka berusah membetot tangan mereka itu akan tetapi
sedikitpun tangan mereka tidak bisa digerakkan.
“ Perlahan dulu sobat, bapak itu
sudah tidak kuat lagi menerima pukulan kalian...” seru Mahiga, lalu dengan
megerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tubuh lelaki kasar itu terpelanting.
Sambil memaki panjang pendek,
kedua lelaki kasar itu menyumpah dalam bahasa mereka sehingga membuat Mahiga melongong bodoh. Sungguh dia tidak
mengerti.
“ Hai sobat, kalian bicara
apakah?”. Tanya Mahiga kepada dua lelaki kasar itu. Namun kedua lelaki kasar tersebut tetap menjawabnya
dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Mahiga.
Hanya Mahiga bisa menilai dari bahasa tubuh mereka, bahwa mereka sedang marah padanya. Lalu Mahiga menolehkan pandangannya pada pak tua yang sudah terkapar tak berdaya di lantai. Segera Mahiga berjongkok dan memeriksa kondisi pak tua itu. Dia sedikit lega karena luka pak tua itu hanya luka luar saja.
Walaupun demikian Mahiga lalu mendudukkan tubuh pak tua itu dan tangannya kemudian menempel ke punggung. Sesaat dia mengalirkan hawa murninya kedalam tubuh pak tua agar kekuatannya segera kembali.
Hanya Mahiga bisa menilai dari bahasa tubuh mereka, bahwa mereka sedang marah padanya. Lalu Mahiga menolehkan pandangannya pada pak tua yang sudah terkapar tak berdaya di lantai. Segera Mahiga berjongkok dan memeriksa kondisi pak tua itu. Dia sedikit lega karena luka pak tua itu hanya luka luar saja.
Walaupun demikian Mahiga lalu mendudukkan tubuh pak tua itu dan tangannya kemudian menempel ke punggung. Sesaat dia mengalirkan hawa murninya kedalam tubuh pak tua agar kekuatannya segera kembali.
Disaat Mahiga sedang memberikan
bantuan pada pak tua itu, kedua begundal gondrong tadi merasa punya kesempatan
melakukan pembalasan karena tubuh Mahiga sedang membelakangi mereka. Dengan
berendap – endap kedua lelaki kasar itu menerjang ke tubuh Mahiga.
Sayang sekali, yang mereka serang itu adalah tokoh kosen dunia persilatan sehingga belum sampai tangan dan kaki mereka singgah ke tubuh Mahiga, serentak angin yang dahsyat menghantam tubuh mereka sehingga kembali terpelanting..
Sayang sekali, yang mereka serang itu adalah tokoh kosen dunia persilatan sehingga belum sampai tangan dan kaki mereka singgah ke tubuh Mahiga, serentak angin yang dahsyat menghantam tubuh mereka sehingga kembali terpelanting..
“ Haaiiiiyaaaaaaa.....!!!!” Dua
begundal itu berteriak kaget dan ngeri.
“ Braaakkk....!!!”
Tubuh merekapun menghantam pagar
rumah yang terdiri dari kayu yang cukup kokoh itu sehingga hancur berantakan.
Sesaat dua begundal itu tidak
mampu menggerakkan tubuh, hanya mulut mereka mengerang kesakitan disertai
sumpah serapah pada Mahiga. Taklama kemudian dengan susah payah dua begundal
itu melarikan diri dengan terbungkuk – bungkuk.
Setelah berada dinegeri sakura, Mahiga mendapatkan beberapa
rintangan dan akhirnya bisa dilalui. Siapa sebenarnya kedua begundal yang telah
dihajar oleh Mahiga dan siapa pula bapak tua itu? Mari kita lanjutkan pada
bagian selanjutnya.
Seandainya tiga ratus jurus dipakai buat nanam pohon
BalasHapusberapa ratus pohon yang ditanam ya mas???
he.. ditunggu dech pertarungan hebat selanjutnya yang bakal dimenangkan oleh mahiga
kebaikan pasti akan menang
Wuiiihhh.... Bisa ya bikin cerita yg seru kayak gini, hehe....
BalasHapusYa, kebaikan pasti menang, tapi harus jungkir balik dulu, berusaha sekeras mungkin, hehe....
@Citrosblog hehehe... mungkin bisa nanam 1000 pohon kang. apalagi mereka berdua, berarti 2000 pohon pasti selesai ditanam dalam 3 jurus
BalasHapus@Ditter saya sekedar belajar dulu, ternyata memang susah bikin cerita silat. harus banyak tau gerakan silat, jurus2nya dan juga tata bahasa yg kita olah pun harus nyaman dimata.
BalasHapusimajinatif sekali kau ini bang...
BalasHapus@OLD PENSIONERS saya sekalian belajar sob..
BalasHapus