Slider

VIDEO

BLOGGING NOTE

KULINER

SEJARAH

ACEH SELATAN

S O S O K

Gallery

» » Cerbung Bag.3 : Kisah Sang Pendekar

Pada bagian ke dua telah diceritakan bahwa Mahiga berhasil mengutungi senjata Trisula si brewok. Keduanya sama – sama terluka dalam. Setelah itu pertempuran akan terus berjalan. Karena si Trisula Iblis sudah tidak bisa lagi menggunakan senjatanya, maka Mahiga kemudian menyarungkan kembali pedangnya dan bersiap melayani lawan dengan tangan kosong.


Suasana hening sesaat, mereka berdiri berhadap - hadapan saling mengintai kelemahan masing masing. Sesaat kemudian disertai bentakan keras, si trisula iblis membuka serangan dengan jurus ‘ Telapak iblis mengacau samudra’. Serangan ini bukan kepalang dahsyatnya. Hawa pengap yang beracun itu seakan membungkus pergerakan Mahiga. Dengan sifatnya yang mengaduk aduk itulah Mahiga merasakan serangan tersebut sangatlah berbahaya karena uap hitam yang keluar dari telapak tangan si brewok membuat matanya tidak jelas melihat posisi lawan berada dimana.

Untunglah saat itu dia tidak panik lalu dengan tenang Mahiga melentikkan tubuhnya keatas sambil mengeluarkan jurus keempat dari 8 ilmu pedang dewa yakni “ dewa pedang mendera iblis ”. Walaupun ditangannya tidak memegang pedang namun sepasang tangannya ini pun sudah seperti pedang geraknya.

Trisula Iblis merasakan angin serangan yang panas mengarah ke kepalanya, lalu dengan jurus “ harimau menerjang benteng” tubuh sibrewok meluncur kedepan bergulingan menjauhi serangan lawan lalu melepaskan sebuah pukulan ke lambung lawan namun Mahiga segera melepaskan pukulan “ dewa badai menghantam karang” dan memapaki pukulan si trisula iblis sehingga membuat keduanya berseru kaget. Si trisula iblis terhuyung – huyung lalu terduduk sementara Mahiga pun tergontai – gontai sambil berusaha untuk berdiri tegak. Si trisula iblis secepatnya bangkit dan bersiaga.

Melihat itu Mahiga mendengus dingin kemudian memperhebat gerak tangannya tanpa memberi kesempatan pada sibrewok untuk menyerang. Telapak tangannya laksana kesiuran mata pedang yang terus mengintai kelemahan lawan, si brewok merasakan sebuah kekuatan yang tidak nampak seakan mengunci setiap gerakannya, maka sulitlah dia bergerak kesana kemari. Sungguh patut dipuji kegagahan si trisula iblis itu, walaupun sudah terjepit keadaannya namun dengan semangat menyala nyala dia masih sanggup meladeni serangan lawan. Sudah beberapa kali kepalanya hampir menjadi sasaran telapak tangan lawan yang dipenuhi oleh tenaga dalam itu.

Dengan mati-matian pula dia menggerakkan tangan menangkis dan adu tenaga walaupun tangannya seperti patah – patah rasanya karena sering beradu pukulan dengan sipemuda namun karena tidak punya pilihan lain mau tidak mau itulah jalan satu – satunya.

Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi ditepi sungai Melang itu dua lelaki masih saja saling adu kesaktian. Tanpa mereka sadari hampir tiga ratus jurus sudah digunakan dalam bertempur. Sungguh duel yang luar biasa dimana tubuh mereka hanya nampak berupa bayangan- bayangan yang bergerak kesana kemari laksana kilat menyambar. Batu batu yang ada disekitar sudah banyak yang hancur akibat pukulan mereka yang meleset dan masih untung tubuh si gadis yang sudah ditotok lemas oleh si trisula iblis itu berada agak jauh dari arena pertempuran sehingga tidak terjangkau oleh tenaga pukulan yang terkadang meleset.

Perlahan namun pasti terlihat Mahiga mulai unggul menguasai lawan, si trisula iblis alias si brewok sudah kepayahan dalam bergerak. Sudah terlalu banyak tenaga murninya terkuras akibat menyambut serangan lawan sehingga berpengaruh pada kecepatan geraknya. Mahiga pun sebenarnya tidak jauh berbeda dari si brewok, dia juga sudah lelah untunglah dia masih muda dan tenaga dalamnya masih murni dan tidak mengganggu kerja otaknya dalam berfikir.

Setelah melihat keadaan lawan. Mahiga kemudian melesatkan tubuhnya di depan si brewok yang sudah bersiap untuk memampaki serangan itu. Dengan gerakan manis Mahiga menggeoskan tubuhnya kesamping dan melancarkan jurus “ dewa murka menjepit gunung “. Dengan kecepatan penuh kedua telapak tangan Mahiga bersilangan membentuk gunting raksasa seolah akan menjepit leher lawan, melihat itu sibrewok berseru tegang lalu menarik kepalanya kebelakang akan tetapi sebuah gerak susulan dari kaki Mahiga tidak dapat dihindari lalu menghantam dada si brewok dengan telak hingga muntah darah dan dengan teriakan ngeri tubuh si brewok terpental kedalam sungai.
“ Aaaaaaaa.....!!”
“Byuurrrr.....!!!” terdengar suara air membuncah ketika tubuh si trisula iblis jatuh kesungai yang dalam itu. Tidak terdengar apapun saat itu.

Mahiga menghela nafas lega, sungguh pertarungan yang hebat dan baru kali ini dia mendapatkan lawan tanding yang setimpal. Sejenak dia memandang ke tengah sungai akan tetapi sosok si Trisula Iblis sudah lenyap tak berbekas. Dengan tubuh yang sangat lelah Mahiga terduduk diatas rumput dimana beberapa waktu lalu menjadi arena baku hantam. Sesaat kemudian dia teringat pada keadaan gadis tadi. Dengan langkah lebar dia menuju ketempat gadis itu tergeletak. Benar saja, sigadis masih tergeletak tak mampu bergerak hanya bola matanya saja yang bergerak ketakutan melihat kehadirannya.

Sejenak Mahiga terpesona melihat kecantikan sigadis malang itu namun buru – buru dia menundukkan muka jengah karena sudah membayangkan yang bukan - bukan. Saat ini sigadis  perlu pertongannya.
“ Maaf nona, saya akan membebaskanmu...”. dengan wajah masih tertunduk Mahiga berjongkok dihadapan gadis itu dan dengan pengerahan tenaga dalam, ujung jarinya menekan urat besar di pangkal leher sigadis. Setelah melakukan itu Mahiga beringsut sedikit kebelakang membiarkan sigadis memulihkan kondisi tubuhnya. Tak lama kemudian sigadis merasakan dia sudah bisa menggerakkan kembali anggota tubuhnya dan dengan penuh rasa terima kasih sigadis menghampiri Mahiga yang duduk bersila.

“ Tuan, terima kasih atas pertolonganmu, kalau tiada tuan yang menolong entah bagaimana nasibku sekarang..” sambil berlutut gadis itu berkata dengan terisak isak dan bercucuran air mata.
Mahiga merasa tidak enak disembahi oleh sigadis, dengan lembut dia menggamit bahu sigadis menyuruhnya duduk secara wajar.
“ duduklah nona, menolong orang lain adalah perbuatan para pendekar, dan sudah sewajarnya saya berusaha membebaskanmu dari iblis itu...” Ujar Mahiga.

Si gadis masih terisak – isak penuh tanda syukur sudah terlepas dari bahaya. Sesaat mereka tidak bicara lagi. Ketika Mahiga mengangkat mukanya kebetulan pada saat itu sigadis juga sedang memandangnya dengan kagum dan haru. Mata mereka bertatapan, walaupun sebentar akan tetapi membuat kedua belah pipi mereka bersemu merah karena malu.
“Nona, ...” belum selesai Mahiga berkata, sigadis sudah memotong.
“ Tuan, namaku srikandi, ayah bundaku memanggilku dengan sri...” ucap sigadis sambil tertunduk malu. Mahiga menganggukkan kepalanya, hatinya tertarik pada kepolosan gadis itu.
Dia memberanikan diri menatap wajah srikandi
“ Nona, siapakah orangtuamu dan dimana rumahmu, akan kuantar kau pulang sekarang...”. tanya Mahiga. Sebenarnya Mahiga tidak ingin menanyakan hal itu untuk sementara ini karena dia sudah tertarik pada sigadis, namun lantaran mereka masih diam tak bicara, akhirnya kata tersebut terlontar juga dari bibirnya.

Srikandi sebenarnya gadis yang periang dan berotak cerdas. Beberapa saat yang lalu dia sudah menilai pemuda penolongnya itu berhati baik dan lugu. Dari tutur katanya saja dia sudah merasakan bahwa sipemuda didepannya itu berasal dari lingkungan baik – baik sehingga dia tidak khawatir berdua – duaan ditengah hutan bersama tuan enolongnya itu.
“ Eh tuan, apakah engkau tidak memberitahukan namamu padaku, padahal engkau adalah tuan penolongku”. Seru srikandi dengan bibir cemberut mukanya masih merona kemerahan.
Mahiga yang masih hijau dalam pergaulan antara lelaki dan wanita itu, sedikit tergagap. Lalu sambil menyunggingkan sebuah senyum dia menjawab
“ Namaku yang buruk ini adalah Mahiga, aku adalah seorang perantau tak mempunyai tempat tinggal yang tetap ”.
“ kenapa tuan mengatakan nama tuan itu buruk, padahal setiap orang tua memberikan nama pada anaknya mempunyai arti dan makna”. Sergah Srikandi. Dia kagum pada lelaki muda yang tampan itu, tingkah lakunya baik dan selalu merendah.
“ Maaf nona, jangan panggil aku dengan tuan, aku hanya pemuda miskin dan bodoh. Tidak pantas rasanya dipanggil tuan”. Mahiga sedikit memprotes. Srikandi tertawa dengan lucu.

Mahiga sesaat terpesona melihat mulut mungil itu tertawa.
“ Tuan lucu juga ternyata, engkau melarangku memanggilmu dengan tuan, tapi engkau masih memanggilku dengan nona, bukankah itu sangat menggelikan”. Jawab srikandi sambil tertawa. Mendengar penuturan sigadis, Mahiga akhirnya ikut tertawa. Setelah puas menertawakan ketololan mereka itu, srikandi kembali berkata
“ bagaimana kalau kupanggil dirimu dengan kanda Mahiga saja, bukankah sudah pantas aku memanggilmu demikian sebab menurut tafsiranku umurmu lebih tua dariku, bagaimana?”
Merah muka Mahiga ketika teringat akan kata “kanda” seperti yang disebutkan sigadis. Akan tetapi sesaat kemudian dia menganggukkan kepala.
“ Boleh saja Adik sri kau memanggilku demikian...” jawab Mahiga. Sementara itu Srikandi merasa hatinya berbunga – bunga tatkala mendengar pemuda tampan itu menyebutnya dengan Adik sri, mesra nian. Tak pelak wajahnya kembali merona.

Cinta terkadang bisa tumbuh kapan saja dan dimana saja dan cinta juga tidak membedakan siapa. Rasa itu bersemi tak kenal waktu. Maka jangan heran apabila cinta sudah bersemi segala sesuatunya akan nampak indah.
Begitulah yang dirasakan oleh kedua insan yang dipertemukan oleh nasib itu. Pada awalnya mereka tak saling mengenal hingga ketika saling memandang dan bertutur kata perlahan – lahan suasana yang kaku itu mencair dengan sendirinya.

Begitulah, Sipedang Naga alias Mahiga masih saja larut dalam nostalgia masa silamnya, sehingga ketika murid – muridnya sudah selesai latihan dan kembali ke padepokan masing – masing, dia tidak mengetahuinya walaupun sepasang matanya menatap kedepan kearah lapangan tempat para murid berlatih. Bahkan tadi salah seorang murid kepala menghampirinya dan mengucapkan salam, kuping yang biasanya tajam itu sama sekali tidak bereaksi sehingga si murid kepala itu seperti bertegur sapa dengan batu.

Dengan penuh hormat akhirnya murid kepala itu mengundurkan diri dan sedikit ngedumel dalam hatinya “ Tumben pak ketua pagi ini tuli, huh...”. Lalu simurid kepala itu berlalu dengan cepat seakan takut bahwa isi hatinya terdengar oleh pendekar sakti gurunya.

Matahari sudah lama beranjak meninggi, suasana pagi yang sejuk telah terganti oleh hangatnya matahari siang. Dari dalam rumah seorang anak kecil berumur delapan tahun berlari bergegas menuju ketempat Mahiga duduk, ditangannya tergenggam sesuatu yang terus saja berbunyi.
“ Ayaaahh... barang ini berbunyi lagi nih..!!” teriak si Anak sambil mengacungkan sesuatu sebesar kepalan tangan.
Teriakan anak kecil yang melengking itu sontak membuat Mahiga yang sedang larut dalam lamunan itu terkejut besar.
“ Maammaaaakkkk...!!!” Tanpa sadar dia latah berteriak. Tubuhnya terlompat keatas akibat luapan tenaga dalam yang otomatis keluar dengan sendirinya hingga diluar sadarnya kepalanya kejedut loteng.
“ Duukk...!!!”
“ Waddaaawww....!!!”
Kembali Mahiga menjerit kesakitan ketika dirasakan kepalanya sakit. karena benturan dikepala itu mata Mahiga sampai berkunang – kunang. Tatkala kakinya mendarat ke lantai pun tidak sempurna sehingga gelas kopi itupun tersenggol dan terpelanting menimbulkan bunyi yang gaduh.

Akibat suara tersebut beberapa murid kepala berlarian menuju rumah kediaman guru mereka dengan perasaan cemas dan bertanya tanya. Akan tetapi tatkala mereka tiba di depan anak tangga rumah, mereka heran menyaksikan putra tunggal ketuanya sedang tertawa terpingkal pingkal sementara dilantai mereka melihat ketua mereka itu duduk menjeplok sambil mengelus elus kepalanya yang sedikit benjol dengan muka meringis. Sungguh lucu wajah dari Mahiga saat itu.
Beragam ekspresi wajah para murid yang hadir disitu, ada yang menutup mulutnya menahan geli, ada yang marah pada sianak kecil itu karena menertawakan orangtuanya dan sebagian lainnya masih bertanya tanya apa gerangan yang sudah terjadi.

Melihat para muridnya sudah berkumpul didepan rumahnya, Mahiga cepat berdiri dengan muka dipaksakan berwibawa,
“ Ada apa sehingga kalian berkumpul disini tanpa ku panggil...??” dengan keren Mahiga bertanya. Para murid segera menundukkan muka. Salah seorang murid kepala bernama Gunarda maju kedepan dengan sikap hormat berkata.
“ Ampunkan murid, Guru. Murid tadi mendengar suara ribut – ribut dikediaman guru sehingga kami mengkhawatirkan keselamatan guru...lalu kami berlarian kesini untuk memastikan”. Jawab Gunarda dengan suara lantang dan diaminkan oleh murid yang lain.
Mahiga mengelus – elus jenggotnya lalu berkata.
“ Gunarda, Sekarang engkau sudah melihat bahwa disini tidak ada musuh menyerang. Entah bagaimana pendapatmu..?”
Gunarda tertunduk sesaat, lalu dengan lantang dia menjawab.
“ Ampuni murid yang salah menilai keadaan. Untuk itu murid siap dihukum....!!”
Mahiga lalu memandangi murid tersebut, dalam hatinya gembira melihat ketaataan Gunarda yang siap menjalani hukuman akibat kesalahannya. Dia kagum.
“ Sudahlah, kalian tidak bersalah. Kembalilah kalian kedalam....”. Ucap Mahiga.
“ Baik Guru, murid mentaati perintah guru...” Jawab Gunarda.Kemudian dia mengajak para murid lainnya segera meninggalkan pekarangan rumah guru mereka.

Setelah tiada lagi murid tersisa, Mahiga lalu menghampiri putranya yang masih tersenyum geli menyaksikan kelatahan ayahnya tadi. sesekali masih saja tertawa.
“ Sanjaya, ada apakah sehingga kau datang mengagetkan ayahmu?”. Tanya Mahiga sambil menatap wajah anaknya.
“ Ayah, tadi sewaktu aku sedang menulis, barang ini berbunyi lagi, makanya anak buru – buru menemuimu dan menyerahkan ini ayah”. Jawab Sanjaya dengan bersungguh – sungguh. Tangan kecil itu mengangsurkan sebuah benda berwarna hitam.
Mahiga lalu mengambil barang itu sejenak matanya menatap pada beberapa huruf dan angka yang terpampang didalam benda itu.
“ Nomor tak dikenal memanggil” gumamnya perlahan. Sudah ada lima kali kejadian ini terulang sejak kepulangannya dari negeri sakura dulu.
“ Maksud ayah ...??” Tanya Sanjaya. Dia juga heran mendengar ayahnya mengucapkan nomor tak dikenal memanggil. Tapi Mahiga buru buru mengilah.
“ sudahlah sekarang lanjutkan latihanmu, lain kali kalau memanggil ayah jangan berteriak”.
“ Baik ayah...” jawab Sanjaya. Walaupun dalam hatinya tidak puas karena pertanyaannya tidak dijawab sang ayah, Sanjaya berlalu kembali kekamarnya.

Mahiga menghela nafas dan menghempaskan tubuhnya dikursi. Tangannya masih memegang benda hitam itu dan benaknya bertanya tanya benda yang ada ditangannya ini termasuk pusaka yang bagaimana. Matanya menelusuri permukaan benda itu, dia melihat ada tombol – tombol kecil dan bertuliskan angka dan huruf – huruf kemudian ada semacam layar yang bertuliskan telkomsel didalamnya dan beberapa tanda – tanda lain yang tidak dimengertinya.

Mahiga ingat sekali kejadian dimana barang “pusaka” ini diketemukan. Waktu itu dia sedang melakukan perjalanan menuju ke timur. Karena perjalanan itu menggunakan kuda pilihan sehingga negeri ditimur itu dapat ditempuh dalam waktu dua purnama. Mahiga baru kali ini menapakkan kakinya dinegeri ini dimana penduduknya berkulit putih dan bermata sipit seperti mengantuk.
Negeri ini bernama jepon. Sebuah negeri yang dingin karena musim salju telah tiba. Mahiga tertegun melihat puncak gunung fuji yang tertutup lapisan salju. Sungguh mengagumkan. Setelah puas memandang, Mahiga menjalankan kudanya perlahan karena sudah memasuki perkampungan. Orang yang berlalu lalang disekitarnya memakai pakaian yang tebal dan bertopi bulu mungkin untuk menghangatkan tubuh disaat hujan salju.

Ada beberapa penduduk menatap pada Mahiga dengan pandangan heran karena merasa asing dalam hal berpakaian. Agak risih juga perasaan Mahiga waktu itu, dan karena tidak ingin dijadikan bahan pandangan mereka, lalu Mahiga menjalankan kudanya dengan sedikit lebih cepat dan berusaha untuk segera keluar dari perkampungan itu.

Disaat kudanya sudah berada diujung perkampungan, mendadak telinganya mendengar jeritan tertahan dari sebuah rumah. Lalu Mahiga menghentikan laju kudanya dan berusaha mempertajam pendengarannya. Taklama kemudian kembali telinganya mendengar suara bentakan dan suara barang yang pecah. Seketika jiwa pendekarnya menggeliat. Mahiga mengarahkan kudanya ke kiri dan menyusuri lorong itu menuju ke sumber suara.

Tidak lama kemudian Mahiga melihat dua orang lelaki kasar berambut gondrong sedang memukul seorang lelaki tua. Wajah pak tua itu sudah bonyok dan mengucurkan darah Sementara itu diruangan dalam terdengar jeritan perempuan. Tanpa basa basi lagi Mahiga segera berkelebat ke arah dua lelaki kasar yang sudah akan melancarkan lagi pukulan kedada pak tua. Mungkin pukulan itu akan segera menamatkan riwayat pak tua tersebut.
Kedua lelaki kasar itu tersentak kaget karena kedua kepalan tangan yang sudah diarahkan ketubuh korban tertahan diudara. Sekuat tenaga mereka berusah membetot tangan mereka itu akan tetapi sedikitpun tangan mereka tidak bisa digerakkan.

“ Perlahan dulu sobat, bapak itu sudah tidak kuat lagi menerima pukulan kalian...” seru Mahiga, lalu dengan megerahkan sedikit tenaga dalamnya, kedua tubuh lelaki kasar itu terpelanting.
Sambil memaki panjang pendek, kedua lelaki kasar itu menyumpah dalam bahasa mereka sehingga membuat  Mahiga melongong bodoh. Sungguh dia tidak mengerti.
“ Hai sobat, kalian bicara apakah?”. Tanya Mahiga kepada dua lelaki kasar itu. Namun  kedua lelaki kasar tersebut tetap menjawabnya dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Mahiga.

Hanya Mahiga bisa menilai dari bahasa tubuh mereka, bahwa mereka sedang marah padanya. Lalu Mahiga menolehkan pandangannya pada pak tua yang sudah terkapar tak berdaya di lantai. Segera Mahiga berjongkok dan memeriksa kondisi pak tua itu. Dia sedikit lega karena luka pak tua itu hanya luka luar saja.

Walaupun demikian Mahiga lalu mendudukkan tubuh pak tua itu dan tangannya kemudian menempel ke punggung. Sesaat dia mengalirkan hawa murninya kedalam tubuh pak tua agar kekuatannya segera kembali.

Disaat Mahiga sedang memberikan bantuan pada pak tua itu, kedua begundal gondrong tadi merasa punya kesempatan melakukan pembalasan karena tubuh Mahiga sedang membelakangi mereka. Dengan berendap – endap kedua lelaki kasar itu menerjang ke tubuh Mahiga.

Sayang sekali, yang mereka serang itu adalah tokoh kosen dunia persilatan sehingga belum sampai tangan dan kaki mereka singgah ke tubuh Mahiga, serentak angin yang dahsyat menghantam tubuh mereka sehingga kembali terpelanting..
“ Haaiiiiyaaaaaaa.....!!!!” Dua begundal itu berteriak kaget dan ngeri.
“ Braaakkk....!!!”
Tubuh merekapun menghantam pagar rumah yang terdiri dari kayu yang cukup kokoh itu sehingga hancur berantakan.
Sesaat dua begundal itu tidak mampu menggerakkan tubuh, hanya mulut mereka mengerang kesakitan disertai sumpah serapah pada Mahiga. Taklama kemudian dengan susah payah dua begundal itu melarikan diri dengan terbungkuk – bungkuk.

Setelah berada dinegeri sakura, Mahiga mendapatkan beberapa rintangan dan akhirnya bisa dilalui. Siapa sebenarnya kedua begundal yang telah dihajar oleh Mahiga dan siapa pula bapak tua itu? Mari kita lanjutkan pada bagian selanjutnya.

SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS, BAGAIMANA PENDAPATMU..

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

6 >>Komentar :

  1. Seandainya tiga ratus jurus dipakai buat nanam pohon
    berapa ratus pohon yang ditanam ya mas???


    he.. ditunggu dech pertarungan hebat selanjutnya yang bakal dimenangkan oleh mahiga
    kebaikan pasti akan menang

    BalasHapus
  2. Wuiiihhh.... Bisa ya bikin cerita yg seru kayak gini, hehe....

    Ya, kebaikan pasti menang, tapi harus jungkir balik dulu, berusaha sekeras mungkin, hehe....

    BalasHapus
  3. @Citrosblog hehehe... mungkin bisa nanam 1000 pohon kang. apalagi mereka berdua, berarti 2000 pohon pasti selesai ditanam dalam 3 jurus

    BalasHapus
  4. @Ditter saya sekedar belajar dulu, ternyata memang susah bikin cerita silat. harus banyak tau gerakan silat, jurus2nya dan juga tata bahasa yg kita olah pun harus nyaman dimata.

    BalasHapus

Silahkan Beri Tanggapanmu Tentang Post diatas ^_^