Ritual-ritual di Aceh sangat beragam salah satunya adalah ritual tulak bala yang telah begitu melekat di masyarakat Aceh Selatan. Di berbagai kawasan di Aceh Selatan banyak mengadakan ritual tolak bala ini tapi cara mengadakan ritual ini berbeda-beda di kawasan Aceh yang lainnya.
Upacara tolak bala ini dilatar-belakangi sebagai ungkapan rasa syukur kepada ALLAH SWT. Karena sebagai manusia kita tidak ada yang sempurna dan banyak melakukan kesalahan baik itu disadari ataupun tidak.
Apabila hal ini terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara, salah satunya adalah menimpa manusia ini dengan berbagai musibah.
Maka dari itu dilaksanakannya upacara tolak bala untuk menghindari dari berbagai musibah.
Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempoe doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seum”
.
Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Setiap mau melaksanakan ritual tolak bala, Perangkat Adat dan Hukum gampong melakukan musyawarah, ini dilakukan hanya untuk formalitas saja. Prosesi tolak bala dilakukan dengan cara berdoa bersama-sama pada malam hari di meunasah, dayah, dan mesjid. Pada siang hari seluruh masyarakat pergi ke sungai, pantai, ataupun pemandian dengan membawa bekal makanan, baik berupa kue timpan, pisang goreng, ketupat singkong, lemang maupun ketupat ketan (pulut). Selain itu, juga mebawa “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing, makanan ini disimpan terlebih dahulu karna akan dimakan secara bersama-sama dan menunggu perintah dari teungku untuk memulai memakannya.
Upacara tolak bala ini dilatar-belakangi sebagai ungkapan rasa syukur kepada ALLAH SWT. Karena sebagai manusia kita tidak ada yang sempurna dan banyak melakukan kesalahan baik itu disadari ataupun tidak.
Apabila hal ini terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara, salah satunya adalah menimpa manusia ini dengan berbagai musibah.
Maka dari itu dilaksanakannya upacara tolak bala untuk menghindari dari berbagai musibah.
Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempoe doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seum”
.
Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Setiap mau melaksanakan ritual tolak bala, Perangkat Adat dan Hukum gampong melakukan musyawarah, ini dilakukan hanya untuk formalitas saja. Prosesi tolak bala dilakukan dengan cara berdoa bersama-sama pada malam hari di meunasah, dayah, dan mesjid. Pada siang hari seluruh masyarakat pergi ke sungai, pantai, ataupun pemandian dengan membawa bekal makanan, baik berupa kue timpan, pisang goreng, ketupat singkong, lemang maupun ketupat ketan (pulut). Selain itu, juga mebawa “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing, makanan ini disimpan terlebih dahulu karna akan dimakan secara bersama-sama dan menunggu perintah dari teungku untuk memulai memakannya.
foto: diliputnews | Acara tulak bala |
Setelah masyarakat berkumpul semua, maka ritual tolak bala dimulai dengan sekelompok laki-laki dewasa, yang dipimpin oleh Teungku Imum Cik membaca al Quran, sejak jam 10.00. Surat yang dibaca Al Baqarah (sapi betina), Al Kahfie (gua) dan Yasin. Dua surat pertama tidak dibaca seluruh surat, sekitar tiga sampai empat halaman. Setelah selesai baca Surat Yasin, baru dilanjutkan dengan baca tahlil, namun sebelum tahlil ada sesaji khusus yang harus dihanyutkan ke sungai dengan rakit batang pisang yang dihias dengan daun kelapa muda (janur).
Sesaji itu berupa kepala kerbau yang dipotong ditempat upacara, ayam warna putih, nasi putih dan kuning, gulai ayam, jeroan ayam hati dan rempela, kue apem, timpan, ketupat ketan, pisang goreng. Sesaji itu kemudian dibacakan doa yang dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala.
Tatkala teungku atau pemangku adat membasuhkan air tepung tawar ke mukanya, lalu ikatan daun itu pun dicelupkan ke air di sampan lalu dicipratkanlah ke kerumunan. Cipratan air itu pun menandai tepung tawar dan tolak bala. Orang pun ramai berebut daun dan air, ada yang membasuh muka, mengisi ke botol. Ada semacam keharusan untuk mengambil daun itu, untuk dibawa pulang dan digantungkan di atas pintu rumah. Bahkan ada yang menyimpan air tepung tawar itu, sampai berbulan-bulan.
Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian khanduri berupa makan. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari bunga yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala” yang datang dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.
Trus, apakah sekarang ritual - ritual seperti diatas itu masih ada?
Menurut penglihatanku, tradisi Tulak Bala atau Rabu habih/rabu habeh sudah banyak melenceng maknanya dari yang sebenarnya. Prosesi tulak bala sudah mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini acara tolak bala di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan pacar atau sesama saudara atau tetangga dengan motif yang berbeda-beda dari esensi kedalaman pemaknaan dari tolak bala itu sendiri. Beberapa perubahan itu dimana ritual tolak bala yang dianggap sakral dulunya. Sekarang hanya sebagai hari rekreasi bagi keluarga dan hura-hura. Sungguh sangat disayangkan...
Saleum..
ooh sekarang maknanya sudah berubah ya
BalasHapusSungguh sangat disayangkan mbak...
HapusTernyata di Aceh ada acara seperti di jawa juga ya?
BalasHapusTolak bala itu kalau di jawa sama artinya dengan tolak bilahi.
Tradisinya koq sudah bertolak ya?
Tapi yang sesepuh masih tetap menajga tradisinya kan? :)
Para tengku masih berupaya untuk menegakkan kembali pada hakekat yg sebenarnya. Mudah2an di aceh bagian lain masih kuat tradisi ini
HapusJadi ingat, dulu waktu masih kecil dan tinggal di Kampung, kayaknya pernah deh diajak untuk upacara ini... tapi bener ga ya eventnya itu adalah ritual tulak bala..? soalnya udah lama sekali sih bang.
BalasHapusBener, aku sependapat bang, saat ini, telah terjadi banyak penyimpangan makna, bahkan para muda mudi tak hanya memanfaatkan moment seperti ini utk berhura-hura... bahkan di setiap acara yang ada kunjungan ke pantai atau tempat tertentu (rekreasi), pasti akan dipakai untuk enjoying their time dan memadu kasih....
informasi yang sangat penting nih dalam menguak kembali memori2 masa dahulu, trims atas postingannya bang.
Saleum,
Terkadang kita sangat menyesalkan budaya "baru" yang dibawa oleh muda - mudi kita disaat pelaksanaan tradisi tulak bala tersebut cutkak, mereka sepertinya menganggap bahwa uroe rabu abeh tu sama seperti acara rekreasi tanpa ada makna samasekali. Padahal para tengku senantiasa menganjurkan agar jangan ada hura - hura dan perbuatan maksiat pada hari itu. Tapi, mereka membawa mau nya sendiri. aku pun merindukan seremonial tulak bala yang sudah lama tidak dilakukan secara benar itu lagi.
HapusSekarang maknanya udah berubah..sama kayak di bulan puasa ya, ngabuburit jd ajang pamer paha..hehe :D (eh sama gak ya?)
BalasHapusmaksud saya, klo dibulan puasa kan acara ngabuburit gitu di isi sama ngaji, silaturahim kerumah sodara sambil nganterin hantaran buka puasa, atau cr makanan buat berbuka sekalian berbagi. tp jadinya malah maen2 dijalanan sore2 yg gak ada guna.
iya mbak, pengaruh globalisasi begitu kuat sehingga budaya yang baik maknanya pun menjadi belang belang
HapusSuatu budaya daerah memang haru s dilestarikan dan tentunya harus pula dijaga agar tidak melenceng dari tujuan semula kegiatan dan budaya itu pertama kalinya di adakan
BalasHapusaku sependapat dengan itu sob, cuma sayangnya, sesepuh sudah berfatwa namun anak- anak muda keastikan berfesbuk ria. jadi, gak pernah dilaksanakan sesuai fatwa
Hapusjadi acarnya itu musti di laut ya Pa'e ?? klo di kampung suami prnh jg liat tradisi spt ini, BALIMAU namanya, diadakan menyambut bulan puasa.
BalasHapustp seperinya anak2 mudanya ga antusias dg acara spt ini lg, krn seperti yang Pa'e bilang meeka hanya mojok di sana sini bareng pasangan hedeeehhh
Kalau ditempatku Bu'e, balimau hanya sering dilakukan pada saat acara khitanan atau acara perkawinan.
HapusAnak2 muda jaman sekarang memang sangat membuat pusiang kapalo. hhehee...
suatu ritual yang memang merupakan bagian dari adat istiadat saat ini memang sering disalahgunakan sob!
BalasHapusmereka maunya enak sendiri aja sob, ajakan sesepuh kampung malah diabaikan.
HapusRitual yang bagus kalau digunakan membaca alquran. Tapi jangan sampai tradisi berebut air malah mendatangkan kesyirikan.
BalasHapusNah itu yang seharusnya jadi pertimbangan acara tsb kang, terkadang ada semacam kefanatikan terhadap sesuatu benda sehingga syirik itu tercipta diluar kesadaran.
Hapuskalo di jombang, namanya Tolak Balak om Dee
BalasHapusacaranya ya selamatan gitu, buat tumpeng terus diletakkan jadi satu di tengah desa, kemudian berdoa dan makan bareng tumpengnya
semoga kebudayaan ini tetap lestari ya om dee, amin
Aamiin, juga kita semua mesti ikut menjaga agar budaya tradisional tsb tidak melenceng dari hakikat yang sebenarnya .
HapusWah acara nya seru Pak. Mungkin karena kemajuan informasi, maka nilai-nilai terkandung dalam adacara ini menjadi bergeser di kalangan anak muda.
BalasHapusSalam kenal
mungkin saja demikian pak, pengaruh zaman sangat berperan dalam hal merubah prilaku seseorang.
HapusApa yang Pak Ies Ungkapkan tersebut aku pun ikut sependapat. Adat dan budaya wajib dilestarikan, namun jangan sampai menjauhkan diri dari ajaran agama.
BalasHapusinti tolak balak itu adalah doa mohon pertolongan kepada Alloh ya sob, karena berdoa kepada Alloh berarti ini adalah ritual suci dan tatacarnyapun harus menjaga kesucian lebih-lebih dengan kemurnian akidahnya
BalasHapusBener banget sob, hanya dengan cara seperti itulah doa yang telah kita senandungkan makbul
Hapus