Slider

VIDEO

BLOGGING NOTE

KULINER

SEJARAH

ACEH SELATAN

S O S O K

Gallery

» » » Peranan Daun Sirih Dalam Budaya Aceh


Untuk melengkapi tulisanku terdahulu yakni Tarian Ranup lampuan yang menggunakan Ranup alias daun sirih dalam setiap pembukaan acara – acara penting diaceh, maka tulisan kali ini “Peranan Daun Sirih Dalam Budaya Aceh” aku akan mencoba berbagi informasi tentang makna daun sirih bagi masyarakat aceh. Semoga tulisan ini bisa melengkapi dan menambah wawasan kita akan sejarah budaya bangsa. Daun sirih di Aceh dinamakan Ranup. Ranup memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Aceh. Ranup yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian dikunyah sebagai makanan pelengkap.


Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik. Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh yang dinamakan Tari Ranup Lampuan. Menyajikan ranup kepada tamu dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat. Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di balik semua aktifitas yang berkaitan dengan ranup. 

Ranup bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena di dalam memahaminya ranup menjadi simbol yang multi rupa. Pemaknaannya secara sosial dan kultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Ranup dengan segala perlengkapannya memainkan peranan penting pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran sultan.

Selain itu dalam perkembangannya, ranup juga menempati peranan yang cukup penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Jika ada acara-acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan mayat sekalipun, ranup seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan ranup menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.

Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan ibunya sendiri biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat mengantar nasi sebagai tanda persetujuan. Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti, ranup setepak (bahan-bahan ranup), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang ala kadarnya.

Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit, dan air ludah ranup. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang didalamnya menggunakan ranup sebagai salah satu medianya adalah upacara antar mengaji.

Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan ranup dalam rangkaian upacaranya. Setelah seulangke mendapat kabar dari ayah si gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan waktu atau hari apa mengantar ranup kong haba, artinya ranup penguat kata atau perjanjian kawin (bertunangan). Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang patut dalam kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk meminang si gadis dan bila dikabulkan terus diserahkan ranup kong haba atau tanda pertunangan dengan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname).

Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, ranup juga memiliki fungsi dan peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media untuk meredam/menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.

Simbol
Berkaitan dengan adat menyuguhkan ranup tersebut, ranup dapat diartikan sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah. Sebentuk daun sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani.

Ranup juga dianggap memiliki makna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya ranup hadir ditengah-tengahnya. Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan ranup sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu (jamee) harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa. Hal ini terjadi karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat.
Saleum

sumber : www.dmilano.wordpress.com

SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS, BAGAIMANA PENDAPATMU..

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

6 >>Komentar :

  1. sirih juga penting bagi orang Karo, terutama ibu2 dan nenek2nya, karena buat dikonsumsi sehari2 :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak, kemaren semasa masih kuliah aku juga sempat main2 ke tanah karo, liatin ibu2 disana dan nenek2 pada ngunyah sirih. sama kayak di aceh

      Hapus
  2. Iya bener banget
    selain untuk kebudayaan juga untuk obat obatan

    saleum

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sob, banyak manfaatnya daun sirih itu bagi kesehatan

      Hapus
  3. Kok sama ya, siih juga dijadikan simbol penghormatan pada tamu disajikan bersamaan dengan tarian adat di Lampung :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepertinya dipulau sumatera peranan sirih sangat banyak ya bun,...

      Hapus

Silahkan Beri Tanggapanmu Tentang Post diatas ^_^