Nostalgia Masa Ronda

Kejadiannya sudah lama berlalu, istilahnya nostalgia masa lalu. Karena setting cerita ini dimasa DOM diaceh dulu sudah jelas cerita ini jauh dari bayangan romantisme.

Setiap masyarakat yang sehat diwajibkan untuk ronda malam bergiliran di lorong masing – masing. Malam itu adalah malam kamis, jatahku dan 8 orang kawan lainnya meronda. Beberapa malam yang lalu memang terjadi gempa yang sangat kuat namun bukan gempa tsunami itu lho. Efeknya luar biasa pada masyarakat yang sempat panik dan ketakutan, tapi syukurlah tidak ada kelanjutan yang lainnya.

Malam telah menunjukkan pukul 03.00 WIB dinihari dan kentongan di pos ronda sukses ku bunyikan. Suasana malam yang baru lepas hujan memang membuat mata berat dan ingin pulas dibalik selimut. Entah karena pengaruh suasana atau mungkin karena tidak ikhlas meronda, beberapa personil telah tergolek pulas sambil mendengkur bersahut – sahutan sehingga mengalahkan suara kodok. Hal itu dibuktikan karena suara kodok tidak terdengar lagi disaat 'ngorok" personil yang tertidur sedang berlangsung dengan seru. Aku dan seorang kawan sebaya masih duduk dibangku pos ronda sambil bermain gitar. Iseng – iseng ku cocokkan nada gitar dengan alunan dengkuran 7 personil itu, hasilnya...??? Nauzubillah. Gak cocok sama sekali.

Sebenarnya tidur semasa dalam tugas ronda tidak dibenarkan karena akan mendapat sangsi oleh aparat keamanan yang menguasai peraturan dikampung. Aku dan Jarul (nama kawan yang sebaya denganku itu-pen) sudah sangat jengkel dengan kelakuan mereka yang seakan – akan menyerahkan urusan ronda pada kami berdua sementara mereka enak – enakan tidur didalam tugas. Hal itu sudah sering mereka lakukan dan selalu sukses. Karena cuma kami yang masih lajang dan ganteng, tentu saja kami segan menceramahi mereka. Jika keadaan terus begini kan kami juga yang rugi, bagian melek kami dan bagian mendengkur mereka. Hati kami berontak dan berasap. Hingga sebuah ide yang “hot” kukemukakan pada

jarul dan alhamdulillah diterima.

Dengan menggunakan jurus ‘langkah kucing lari diatap’ kami mulai menyisir kepinggir pos yang berbentuk rumah panggung dengan 6 kaki tanpa jempol. Setelah mendapat posisi yang pas lalu mata kami saling mengedip dan langsung kami goyang – goyangkan bangunan pos hingga seperti perahu diayunkan oleh air sambil teriak.

“ Gempa... gempa... hoi bangun.... ada gempa...!!”.

Hasilnya sangat memuaskan kawan – kawan. Beberapa dari mereka yang tersentak kaget langsung loncat keluar lewat jendela dan sukses tersungkur ditanah dan sebagian lagi terduduk sambil berzikir dengan khusu’ bahkan seorang personil lantas mengumandangkan azan. Betul – betul konyol.

Tak tertahankan lagi, suara tawa kami pecah sambil guling – guling menyaksikan ulah mereka. Apalagi tatkala melihat muka songong mereka yang belum “ngeh” atas kejadian sebenarnya hingga kelihatan bodoh, membuat tawaku dan Jarol semakin menggila.

Walaupun mereka marah – marah dan merepet karena kami kerjain, namun setelah itu mereka tidak lagi bisa tidur lagi hingga masa piket berakhir.

Nah, mumpung para emak yang manis - manis itu sedang mengadakan saweran, nostalgia masa ronda ini saya sertakan sebagai wujud persahabatan yang indah. Cerita ini tidak menjamin menyebabkan tawa pembacanya, itu harap dimaklumi. Bila pembaca tertawa juga itu bukan tanggung jawab saya. terima kasih...

Cangkir Kupi bin dmilano ikut berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia”. Disponsori oleh : Jeng Anggie, Desa Boneka, Kios108