Belajar kelompok atau belajar bersama, hampir semua kita pernah melakukannya. Baik saat masih duduk di bangku SD, SMP, SLTA maupun ketika sudah berstatus mahasiswa. Begitupun yang kini sering dilakukan putriku, Sabila. Bersama beberapa teman sekelasnya, ia belajar kelompok secara bergiliran. Menjelang ujian akhir nasional yang tinggal beberapa bulan, banyak tugas dan latihan yang harus mereka kerjakan. Ini yang mengawali obrolanku dengan Fulan, beberapa hari lalu, usai makan siang. Obrolan singkat yang menggugah kesadaran dan memberiku pelajaran.
“Belajar bersama memang banyak manfaat positifnya walau terkadang jadi ajang keributan.” Komentar Fulan.
“Keributan?” tanyaku, heran.
“Ya, keributan. Seperti yang terjadi di rumah kemarin malam. Seperti biasa, anakku yang nomor dua belajar bersama tiga orang temannya. Malam itu giliran di rumahku. Tiga puluh menit pertama mereka masih serius mengerjakan PR matematika. Tapi keributan mulai muncul ketika salah satu dari mereka mendapati cara pengerjaan temannya yang berbeda, walaupun hasil akhirnya sama. Tak terima dikatakan caranya salah, teman yang diprotes balas memprotes, ngotot bahwa cara yang ia pakai sudah benar. Mereka berdua saling ngotot. Masing-masing kekeuh bahwa cara yang ia pakai adalah satu-satunya cara yang benar.”
“Terus siapa yang mendamaikan? Kamu?” tanyaku penasaran.
“Bukan! Aku hanya mengamati mereka dari teras. Terus terang aku juga penasaran, ingin tahu bagaimana mereka mengatasi masalah ini.” Jawab Fulan, cengengesan. “Melihat kedua temannya terus saja ribut, saling menyalahkan, anakku berinisiatif memanggil Faiz, putra sulungku. Selama ini ia memang bisa diandalkan untuk mengatasi hal-hal semacam ini. Diam-diam aku ikut menyimak bagaimana Faiz menjelaskan pada mereka bahwa soal matematika yang mereka ributkan sebenarnya bisa dikerjakan dengan beberapa cara, dan cara yang mereka pakai dua-duanya benar. Tinggal pilih mana yang lebih mudah.”
“Mereka bisa mengerti?”
“Alhamdulillah! Lima belas menit setelah itu tak terdengar mereka ribut-ribut lagi. Bahkan sesekali dua anak yang tadi berseteru tertawa cekikikan, saling menggoda, jahil. Dan usai mengerjakan PR mereka sempat main game bersama, seakan tak pernah ada keributan sebelumnya. Ah, dasar anak-anak! Hal yang kecil mereka besar-besarkan! Tak tahu kalau dua-duanya benar, hanya karena tak sama, lantas diributkan!” Fulan terkekeh, mengenang kerusuhan kecil di rumahnya malam itu.
“Bukan hanya anak-anak, tapi kita juga!” sergahku.
“Kita?” Fulan menatapku. Hei, kita baru saja kenal beberapa tahun yang lalu, bagaimana mungkin kita pernah belajar bersama, meributkan soal matematika, hal-hal sepele seperti teman-teman anakku?, begitu kira-kira arti tatapan matanya.
“Ya, kita!” jawabku santai. “Kita yang sudah berpuluh tahun meninggalkan masa anak-anak, tapi kelakuannya seringkali masih kanak-kanak. Merasa paling pintar, paling benar.”
“Mm…iya juga ya! Tapi bukan kita berdua yang kamu maksud, kan?”
“Kadang-kadang!”
Fulan tertawa, manggut-manggut.
“Yang kamu bilang ada benarnya juga. Sering kita lihat orang berdebat, baik yang mengatasnamakan pribadi atau mewakili kelompok. Awalnya memang terlihat sopan, santun, saling memberikan masukan dan pandangan yang sifatnya membangun. Tapi ketika titik perbedaan mulai terlihat, kalimat berikutnya mulai menghujat. Saling tuding, saling serang. Mengeluarkan pernyataan seolah-olah yang berseberangan pandangan dengannya adalah salah dan rendah, dan pemahamannyalah yang yang paling benar. Bahkan saling adu otot, adu jotos. Astaghfirulloh! Ini bukan hanya terjadi di media massa, tapi juga di sekitar kita. Dan pelakunya bukan lagi anak-anak, tapi mereka yang sudah berkeluarga, sudah beranak pinak. Padahal yang sama itu belum tentu benar, dan yang berbeda belum tentu salah atau lebih rendah.” Panjang lebar Fulan berkomentar.
Aku bergeming ketika Fulan jahil melambai-lambaikan tangan di depan mukaku. Aku tidak sedang melamun, justru aku sedang merenungkan kata-katanya. Ada benarnya juga, bahwa usia bukan jaminan seseorang bisa bersikap dan bertindak secara dewasa. Juga yang tinggi sekolahnya belum jaminan selalu bijak dalam bersikap maupun bertindak. Seringkali justru nafsunya yang berbicara, merasa paling pintar, otomatis pendapatnyalah yang paling benar. Padahal tidak tertutup kemungkinan orang lain yang berbeda dengannya juga benar, atau bahkan sesungguhnya ia tidak lebih pintar dari mereka.
“Kita masuk yuk, sebentar lagi waktu istirahat habis. Kamu nda mau kan si boss nyuruh OB mengantarkan laporanmu ke sini?” ajak si Fulan. Mungkin ia kesal karena dua menit terakhir aku hanya diam, sibuk menyimpulkan apa yang baru saja kami bicarakan.
Ternyata benar, usia bukan jaminan seseorang menjadi dewasa, baik dalam berbicara, bersikap maupun bertindak. Dan jika anak-anak begitu mudah melupakan pertengkaran sebelumnya, orang tua justru sering sebaliknya. Perbedaan pendapat, pandangan dan pemahaman adalah sebuah keniscayaan dan seharusnya kita menghargainya karena kita tidak selau pintar, dan juga tidak selalu benar. Dalam beberapa hal kita pintar, tapi tidak di segala hal. Dalam beberapa hal kita benar, tapi tidak di setiap hal.
Tulisan ini tidak bermaksud menunjuk siapapun, tapi lebih kepada diri sendiri yang masih harus belajar banyak hal, termasuk menyikapi perbedaan dengan cara yang pintar dan benar. Mohon maaf apabila ada kekihlafan kata, bahasa dan atau apapun terkait tulisan ini.
Salam,
*gambar dipinjam dari http://pahoman.org
kalo pake fulan dan fulanah biasanya udah ketebak yang nulis maah abi sabila. ehehe
BalasHapusHehehehe...habis mau pakai nama Gaphe, kenyataannya kita belum pernah ketemu. Meski tanpa nama, semoga tidak mengurangi hikmah di dalamnya ya, Mas Gaphe.
HapusMas Gaphe sangat paham dengan ciri khas tulisan mas Abi :) kalau versi cangkir kupi tak pernah menggunakan fulan dan fulanah langsung sebut nama. xixixi....
Hapusdari awal aneh kok Bang Dmilano memakai kata fulan, dan sabila langsung deh ngeh ini penulis tamu :)
BalasHapusMbak Lidya kapan menyusul? Ayo kesini, nikmati suguhan secangkir kupi yang nikmat.
Hapusxixixii.... mbak lidya pasti penasaran ya? sejatinya si fulan dan fulanah adalah ciri khas mas Abi yang hadir di cangkir kupi.
HapusJadi ingat kata kata intrukturku dulu. Benar dan salah adalah kesepakatan.
BalasHapusbegitu ya kang? kalau aku dan kang yitno sepakat mengatakan si anu salah, pasti salah dong? heheehe...
HapusHoalaaaah kok kayaknya agak beda gitu. Hihihi~
BalasHapusRupanya penulis tamu tho xD
Wah benar ya, meskipun udah tua tetep gak boleh merasa selalu benar.
Yang muda menghargai yang pendapat yang muda, yang muda menghormati pendapat yang tua, begitupun yang pintar dan yang kurang pengetahuannya, saling menghargai perbedaan yang ada.
HapusBetul mbak Una, Mas Abi sudah menyumbangkan tulisannya untuk cangkir kupi edisi pertama :)
Hapusseperti yang mas Abi ungkapkan, saling menghormati dan menghargai itu sangat diperlukan dalam bergaul. Antara yang muda dan yang tua juga harus ada komunikasi yang dinamis dan saling menghargai tentunya.
klo ada Abi dimana2 adem deh pokoknya hehehe
BalasHapusabis ini siapa lagi bang? :D
betul, untaian kata dari beliau senantiasa punya makna.
Hapussetelah mas Abi insya Allah sudah menunggu tulisan dari salah seorang teman dia dosen di Unsyiah mbak
dari awal membaca saya udah yakin kalo ini tulisan abi sabila....ternyata bener kan...?
BalasHapusmemang benar kedewasaan seseorang tidak di ukur dari usia, tapi sebaliknya kalo udah tua tapi nggak bisa bersikap dewasa kayaknya kok malah nggak wajar ya...hehe....
betul mbak, banyak lho yang masih muda tapi sudah dewasa dalam berfikir. Tapi ada juga yang sudah berumur namun kedewasaannya kurang.
HapusTentang penulis tamu pada sebuah blog, saya tidak terlalu memperdulikan siapa yang menulis, saya mencoba belajar membaca, menyimak makna yang tersirat dalam sebuah tulisan agar mendapatkan tambahan dari sebuah kegiatan blogwalking
BalasHapusdulu saya hanya sekedar meletakkan link setiap berkomentar, tidak peduli apa isi dari tulisan tersebut
loh.. pada kemana juga komentarnya
pokoknya begitu dech merasa dewasa padahal melebihi dari anak
Begitupun dengan aku kang, blogwalking sekalian mencari pengetahuan dari narablog lainnya :)
HapusPenulis tamunya keren Mas, dan memilki ciri khas tersendiri. he....x9
BalasHapusSukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
Ciri khas mas Abi memang jelas nampak dalam tulisannya, namun aku mengakui satu hal bahwa mas Abi sangat berbakat dalam menulis Mas indra :)
HapusYang terpenting makna yang tersirat didalam tulisannya. Tapi ada kalanya nama penulis menjadi pertimbangan untuk membaca sebuah tulisan.
BalasHapusBetul itu mas Aldi, setiap tulisan yang dibaca seharusnya bisa kita ambil inti sarinya.
HapusMengandung makna dari setiap goresan karakter aksaranya. Salam perkenalan dari saya pada kunjungan perdana ini.
BalasHapusSukses selalu
Salam
salam kenal juga, insya Allah akan segera berkunjung
Hapuswow...tulisan abi sabila to? pantesan... :D
BalasHapustadinya saya mikir, ini tidak seperti tulisan yang empunya blog
cz saya pernah mampir ke sini, gaya penulisannya tidak seperti ini
eh ternyata ada penulis tamu
kreatif ya bung dmilano :D
xixixi... emang gaya tulisan ku begimana sih sob?
Hapusinstropeksi diri :D
BalasHapusItu lebih baik Om :)
Hapusowh,,,dimulai toh para penulis tamunya hmmmmm. patut direnungkan :)
BalasHapustrus klo mukanya aja dewasa tp umurnya msh seiprit gmn tu mas ??? hihihi
harus diketahui dulu arti kata "seiprit" itu Bu mimi..
HapusJaman saya sekolah, belajar bersama punya kenikmatan tersendiri karena saat itu belum banyak gangguan. TV juga acaranya belum menarik, belum ada internet dan kalau mau jalan2 gak punya uang jajan
BalasHapuskalau jaman sekarang sering diganggu oleh acara tipi dan bunyi hape ya pak. akhirnya belajar bersama menjadi acara gosip bersama
HapusMemang benar sekali apa yg tlah di tulis oleh anda,kita yang udah lama meninggal kan dunia anak2 pun kadang2 msh berkelakuan mirip nya anak ingusan.Perkara yg kecil pun bs di jadikan sebagai ajang pertengkeran.
BalasHapusLebih memprihatin kan lg para pemimpin kita yg ikut2an kayak anak kecil
seharusnya mereka bisa memberi contoh kepada masyarakatnya bagaimana mendewasakan cara pikir dan dalam mendapatkan hasil yang baik.
Hapuspantes dari awal aku bingung, koq tulisannya beda dari yg biasanya..ternyata abi toh yang nulis hihihi......ada penulis tamu yach disini.....senangnya.....bisa baca tulisna teman di blog teman heheh....
BalasHapushehehe.... mudah2an diedisi selanjutnya akan ada lagi penulis tamu yang mau berbagi di cangkir kupi mbak.
Hapusmalahan kalau makin dewasa permasalahan dan keributannya makin besar dan makin berat yak mas.. Seharusnya kita belajar dari anak-anak juga.. yang cepat memaafkan dan melupakan :D
BalasHapuskalau menurut saya, apapun yang baik disekitar kita adalah sumber pembelajaran mbak tergantung dari kita juga mau atau enggak mau untuk mempelajarinya. mungkin versi mas Abi lain lagi :)
HapusTerima kasih saya haturkan kepada Pak Dmilano yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi penulis tamu ( pertama ) di Cangkir Kupi ini. Mohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan yang mungkin terselip di hasil belajar menulis saya ini. Dan jika Pak Dmilano tidak berkeberatan, ijinkan saya untuk men-share tulisan ini di blog saya dan beberapa tempat yang ( biasa ) bersedia menampung hasil belajar saya, dengan harapan semoga bisa memberikan manfaat yang lebih luas lagi.
BalasHapusTerima kasih pula kepada sahabat semua yang telah menyimak dan atau memberikan komentar terhadap tulisan ini. Mohon maaf apabila saya tidak bisa menanggapi komentarnya satu per satu, semua sudah diwakili Pak Dmilano dengan baik.
Silahkan mas :) Cangkir kupi juga mengucapkan terima kasih atas kontribusi tulisannya. Semoga kita mampu mengambil manfaat dari uraian tersebut
Hapuspantesan bukan ciri nya omm dee...
BalasHapusternyata nya si abi toh yang jadi penulis tamu :D
Ternyata pun kita bisa belajar dari permaslahan dari anak kecil yah.
BalasHapusMemang kita seharusnya banyak belajar dari hal-hal positif yang terjadi dalam diri kita lewat lingkungan kita sendiri