Slider

VIDEO

BLOGGING NOTE

KULINER

SEJARAH

ACEH SELATAN

S O S O K

Gallery

» » Cerbung Bag.6: Kisah Sang Pendekar ( tamat)

Pada bagian terdahulu kita telah mengetahui bahwa Mahiga sangat mencintai Srikandi, dara yang telah diselamatkannya dari cengkraman Si Trisula Iblis.

Tak lama berselang pesta pernikahan pun digelar dengan meriah dikampung itu, Ki Wiguno sebagai kepala kampung sudah tentu mengadakan pesta pernikahan anaknya itu dilengkapi oleh banyak acara sehingga mampu menghibur tamu undangan yang terdiri dari kalangan dunia persilatan dan  beberapa kenalan dari kotaraja  sekaligus menghibur hati rakyatnya.

Sepasang pengantin duduk dengan malu – malu di pelaminan yang telah disediakan di dekat tamu undangan. Tak henti – hentinya para tamu mengungkapkan kekaguman mereka terhadap sepasang mempelai. Sungguh pasangan yang serasi, lelakinya tampan dengan tatapan matanya yang tajam melambangkan keperkasaan dan kegagahan sementara mempelai wanitanya adalah seorang gadis yang cantik, ayu dan molek sehingga sangat pantas mendampingi si mempelai pria yang gagah itu. Semua bahagia dan larut dalam tawa dan senda gurau.

Semakin malam acara semakin meriah, sepasang pengantin sudah mengundurkan diri kedalam untuk menikmati cinta mereka dikamar pengantin. Para tamu sebagian sudah ada yang pamit dan sebagian lagi masih betah menyaksikan aneka tarian dan jamuan dari tuan rumah yang melayani mereka penuh persahabatan. Gelak tawa tak putus putusnya menghiasi malam.

Sementara itu didalam kamar pengantin, Mahiga dengan penuh cinta memeluk istrinya yang molek itu sambil berkata
“ Adik Sri, syukurlah acaranya berlangsung tenang dan damai. Aku sudah khawatir kalau kalau musuhku datang dan membuat kekacauan disini...”
“ Tenangkan hatimu kanda...” dengan lembut srikandi menenangkan hati suaminya, “ Kita telah sah sebagai suami istri. Aku bersumpah sampai mati akan berbakti padamu...”
Mahiga sangat bersyukur mendengar sumpah dari istrinya dan dia lalu mengecupi bibir yang indah itu kemudian mereka pun larut dalam suasana yang romantis mereguk madu cinta yang menggelora.

Mahiga menghempas nafas berat, ketika menyadari bahwa kenangan tersebut sebenarnya membuat hatinya berduka kembali. Kebersamaannya dengan wanita yang dicintainya tidak berlangsung lama. Setelah empat tahun menikah, mereka dikaruniai seorang putra yang sehat dan tampan bernama Sanjaya. Kala itu sang anak sudah berumur dua tahun, sedang bermain – main disamping rumah bersama kakeknya. Sementara itu Mahiga sedang pergi ke kota raja untuk menjual hasil kebun mereka dengan ditemani dua orang pembantu. Srikandi dan ibunya sedang menyiapkan makanan didapur.

Dari jauh terdengar derap langkah kaki kuda mengarah kerumah mereka. Kedatangan empat penunggang kuda itu sangat mengagetkan tuan rumah apalagi melihat tampang mereka yang sangar dan kasar. Dalam hati Ki Wiguno sudah merasa curiga. Segera dia merangkul Sanjaya dan menyuruhnya untuk masuk kedalam.

Sanjaya sangat patuh pada kakeknya lalu dengan langkah lucu anak kecil itu berlarian masuk kedalam. Ki Wiguno berusaha meredam kegelisahan hatinya. Sambil tersenyum dia merangkapkan tangan didada sebagai tanda penghormatan sekaligus menyapa.
“ Ada apakah gerangan sehingga tuan – tuan yang gagah perkasa menuju kegubukku yang buruk ini..?” 
Mendengar ucapan dari Ki Wiguno itu, seketika para pendatang itu tertawa terbahak bahak. Salah seorang dari penunggang kuda itu, lalu turun dari kudanya dan berkata.
“ Apakah engkau ini mertua nya si Pedang Naga?” bentak lelaki itu dengan kasar.

Terkesiap juga muka Ki Wiguno tatkala mendengar julukan menantunya disebut oleh orang itu.
“ Sungguh saya orang tua tidak mengerti akan pertanyaan saudara yang gagah ini, menantu saya hanya seorang biasa..” Jawab Ki Wiguno masih berusaha untuk tenang.

Lelaki bercodet yang masih diatas kuda mendengus keras. Dia berjuluk Si Cakar Setan, adalah orang kedua dari enam gerombolan rampok.
“ Huh... jangan membohongi kami, orang tua. Kami tidak akan membikin susah dirimu asalkan kau berterus terang kalau engkau adalah mertuanya...”


Ki Wiguno merasakan betapa sukar untuk membantah. Apalagi dia adalah kepala kampung yang jujur sehingga sudah tentu kesulitan untuk memutar lidah. Tapi keadaan ini sungguh berbahaya apabila kedatangan mereka bermaksud tidak baik pada menantunya.
“ Tuan, memang benarlah apa yang tuan katakan itu, Saya tidak akan mendustakan apa yang saya ketahui, menantu saya hanya petani dan saat ini sedang menjual hasil kebun kami di kota raja..” Ki wiguno tetap mempertahankan jawabannya itu.
“ Hei orang tua, Kami adalah empat Iblis Gunung Gombang, saat ini juga kami bisa mencabut nyawa anjingmu itu. Bicaralah terus terang sebelum kesabaranku habis..!!” Bentak penunggang kuda yang sedang memutar mutar goloknya. Orang ini berjuluk Si Golok Setan.

Walaupun Ki Wiguno tetap pada jawabannya dan berusaha tenang, namun keringat sudah sebiji jagung menetes dijidatnya. Siapa yang tidak takut pada gerombolan perampok kejam yang berjuluk Iblis Hutan Gombang . Mimpipun dia tidak menyangka kalau hari ini akan berhadapan dengan mereka.

Dengan menghela nafas Ki Wiguno memandang lelaki yang berdiri didepannya.
“ Tuan, untuk apa saya berdusta. Apa yang saya katakan tadi adalah kenyataan yang sesungguhnya. Kami adalah....” Belum sempat Ki Wiguno menyelesaikan ucapannya, sekonyong konyong sebuah tendangan sudah bersarang diperutnya.
“ Buukkk...!!”
“ Heekk...!!”

Ki wiguno terlempar kebelakang, perutnya sakit seperti pecah. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Sambil menahan sakit Ki Wiguno berusaha untuk duduk, akan tetapi dengan cepat tamparan keras menghantam pipinya hingga bengap. Bibirnya pecah berdarah.
“ Kau pikir bisa menipu kami, bangsat tua?!!” bentak lelaki yang memegang cambuk. Dia dikenal berjuluk Si Cambuk Setan. Orang pertama dalam gerombolan.

Secepat kilat tubyhnya menghampiri Ki Wiguno yang masih terduduk kesakitan ditanah lalu tangannya mencakal leher pakaian orang tua itu. Ki Wiguno sudah tersenggal – senggal nafasnya.
“ Kalian tunggu apalagi, segera geledah rumah itu, kalau tidak bertemu dengan bangsat itu, bunuh saja keluarganya..!!”. Perintah si Cambuk Setan pada kepada anak buahnya.

Serentak dengan itu berlompatanlah mereka dari kuda dan segera melabrak kedalam rumah. Melihat itu Ki Wiguno terkesiap.

Taklama kemudian terdengar suara benda – benda jatuh didalam rumah disusul oleh teriakan ngeri anak bininya. Ki Wiguno pedih hatinya, wajahnya pucat pias menahan keresahan.
“ Tuan, kenapa kalian berbuat seburuk itu pada kami?” dengan suara terputus – putus ki wiguno berusaha untuk mendapat tahu. Dengan sekali banting, tubuh Ki Wiguno terlentang kembali ditanah.
“ Hei orang tua, baiklah akan kukatakan urusan kami terhadap menantumu yang sok pendekar itu. Kami akan membalas dendam atas kematian dua orang saudara kami yang telah dibunuhnya dulu. Sudah mengerti kau? “ Jawab si Cambuk Setan.
“ Tapi... tapi orang itu bukan menantu saya, menantu saya sedang berdagang dikota raja...” Jelas Ki Wiguna dengan susah payah. Si Cambuk Setan mendengus.
 “ Walaupun dia tidak berada disini, maka kalian satu rumah harus mati, hahahahaaa...”.
Ki Wiguno pucat pasi mendengar ucapan perampok itu, pedih hatinya membayangkan istri, anak dan cucunya dibantai oleh perampok ini.
“ Tapi,.. tapi kami tidak bersalah apa – apa pada kalian, kenapa harus dibunuh..?” dengan ketakutan ki wiguno bertanya kembali. Si Cambuk Setan kembali tertawa seram
“ Agar dia merasakan sakitnya apabila keluarga sendiri dibunuh orang...” dengan dingin si cambuk setan menjelaskan. Seketika kerongkongan Ki wiguno tercekat.

Tipis harapannya untuk kabur menyelamatkan keluarganya. Apalagi sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri istrinya disambung dengan jeritan dari putrinya. Ah.. ternyata mereka telah menjadi korban keganasan perampok jahanam ini, bisik hatinya dengan pilu.

Mengingat semua kekejian mereka itu, Ki Wiguno naik pitam, serentak dia bangkit dan memukul wajah si Cambuk Setan dengan sekuat tenaga. Tapi semua serangan tersebut hanya mendapat angin apalagi keadaan tubuhnya sudah tua dan tenaga tidak ada lagi, dia hanya jadi permainan si cambuk setan.

Setelah puas mempermainkan orang tua itu, dengan keji si Cambuk Setan menghantam kepala Ki Wiguna hingga retak. Tanpa ampun tubuh orang tua itu rubuh ketanah sekalian dengan terlepasnya nyawa dari raga.

Si cambuk Setan tertawa puas, suara tawanya menggema ke seantero kampung sehingga membuat warga kampung menggigil ketakutan. Mereka sudah melihat secara sembunyi – sembunyi bagaimana kepala dusun mereka mati menggenaskan. Sungguh disayangkan, sang menantu yang dikenal dengan si pedang dewa itu sedang dikotaraja sehingga malapetaka itu berjalan dengan mulus.

Setelah rombongan perampok itu berlalu, segera warga berdatangan kerumah kepala dusun. Mereka bergidik melihat darah berceceran di dalam rumah disusul dengan diketemukan dua sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi.

Mereka itu adalah srikandi dan ibunya, sementara itu jenazah Ki Wiguno sudah diurus warga kedalam rumah. Hanya tubuh si kecil yang bernama sanjaya tidak diketemukan oleh warga, lalu beramai – ramai mereka berusaha mencari disekitar rumah hingga terdengar oleh mereka suara tangis tersendat – sendat dari balik lemari buruk dibelakang rumah.

Ternyata ada rongga seukuran tubuh manusia dibalik lemari itu, mungkin karena sudah tidak mampu lagi untuk melarikan diri, srikandi lalu memasukkan anaknya kesitu sehingga terhindar dari pembantaian.  
   
Kita tinggalkan sejenak kedukaan dirumah kediaman Ki Wiguno dan mari kita lihat keadaan Mahiga yang sedang berada dikotaraja. Matahari sudah agak tinggi. Mahiga merasakan sesuatu yang tidak enak hinggap dihatinya. Sungguh dia gelisah. Berkali kali pikirannya terkenang pada istrinya seolah – olah ada panggilan untuk segera pulang. Hal itu segera dirundingkan dengan kedua pembantunya.
“ Entah kenapa perasaanku tidak enak, seakan telah terjadi sesuatu yang buruk dirumah” Ungkap Mahiga pada wirno dan gatra. Kedua anak muda itu saling berpandangan seakan memaklumi isi hati majikannya.
“ Kalau demikian juragan lebih baik pulang duluan saja, biarlah saya dan gatra yang tinggal sambil mengurus dagangan kita disini”. Usul si wirno dan dibenarkan oleh gatra.
“ Benar juragan, kami akan segera pulang apabila dagangan kita telah habis”. Timpal Gatra.
Mahiga sesaat melamunkan perkataan kedua pembantunya. Kemudian sambil berdiri dia berkata.
“ Kalian urus baik – baik urusan disini, apabila besok aku belum kembali kesini, segeralah menyusulku pulang”. Ucap Mahiga.
“ Baik Juragan...”. Jawab wirno dan gatra serempak.

Dengan bergegas Mahiga berjalan menuju pintu keluar kota. Kuda sengaja ditinggalkan agar Wirno dan Gatra tidak kerepotan membawa dagangan nanti. Setelah dirasa sepi, secepat kilat Mahiga berlari dengan menggunakan ilmu lari cepatnya “langkah dewa angin” tubuhnya melesat. Hanya kelebatan bayangan saja yang nampak.

Jarak antara kota raja dan perkampungannya sangat jauh. Diperlukan waktu selama 2 hari untuk bisa sampai kekampung dengan perjalanan berkuda. Akan tetapi karena hatinya sudah tidak enak sekali, Mahiga menggeber tenaga dalamnya kekaki membuat langkahnya secepat angin berhembus dan ketika matahari sudah condong ke barat, dia sudah sampai dibatas kampungnya.

Untung baginya karena sewaktu melintasi hutan yang memisahkan batas kampung  dengan jalan umum tidak mendapatkan halangan apapun. Walaupun demikian, langkahnya tetap tidak berubah. Semenit kemudian dia sudah berada didepan rumah.

Sesaat langkahnya terhenti dan merasa heran ketika melihat banyak warga berkumpul dirumahnya. Beberapa orang tua segera menghampiri Mahiga dengan wajah muram. Mahiga merasakan nafasnya sesak. Pikirannya berkecamuk bermacam – macam bayangan buruk. Di gamitnya bahu seorang bapak yang dikenalnya sebagai pembantu bapak mertuanya.
“ Ki marta, ada apakah gerangan? Kemana mereka...??” Demikian dengan tergagap Mahiga bertanya. Dilihatnya Ki Marta menghela nafas.
“ Anaknda Mahiga, mereka telah datang kesini...”. ucap Ki Marta dengan galau. Mahiga tertegun.
“ Siapa yang datang ki?” cepat – cepat Mahiga kembali bertanya. Sungguh hatinya sangat kalut.
 “ Empat iblis dari gunung gombang. Mereka telah.... ” tersendat sendat Ki Marta menjawab. Hatinya tidak tega mengatakan kejadian yang sebenarnya.

Mahiga merasa kerongkongannya tercekat. Lemah lunglai tubuhnya. Barulah dia mengerti bahwa keluarganya telah binasa ditangan empat iblis, perampok dari gunung gombang.

Memang beberapa bulan yang lalu dia telah bentrok dengan mereka karena gerombolan itu berusaha menculik anak perawan kampungnya. Mahiga menghadapi gerombolan itu sendirian. Saat itu jumlah perampok masih utuh yakni enam orang.

Pada bentrokan itu dua orang binasa dipedangnya. Sementara itu empat perampok lain terpaksa melarikan diri dengan terluka sambil membawa mayat saudara mereka yang tewas. Sungguh dia tidak menyangka pembalasan para iblis itu berlangsung disaat dia tidak berada dirumah dan menyebabkan keluarga dan istrinya tewas.

“ Istriku, Ooohh... Anakku....!!” keluh Mahiga dengan penuh kehancuran. Airmatanya luruh bersama duka nestapa ini. Ketika dia ingat pada putranya, dengan langkah kilat seketika dia sudah berada didepan pintu. Matanya nanar melihat beberapa sosok terbujur kaku diruang tengah dan dikelilingi oleh para tetangga yang bersedih hati.

Dengan langkah lunglai Mahiga menghampiri jasad istrinya. Sesaat lidahnya kelu tak mampu bicara. Pilu rasa dihati.
“ Adik Sri,... maafkan aku.. Oohh... aku bersalah padamu sehingga kalian jadi begini...”. Ratap tangis Mahiga terdengar lirih diantara sedu sedan para pelayat perempuan.

Hampir gila rasanya Mahiga saat itu. Begitu berat dia menerima musibah ini karena dia sangat mencintai istrinya. Kebahagiaan hatinya telah direnggut secara paksa oleh kematian mereka yang selama dua tahun ini sangat dekat dalam kehidupannya. 
Tiba – tiba..
“ Ayah...” sebuah suara membuyarkan kesedihan yang membuncah didalam hati. Dilihatnya sanjaya berjalan tertatih - tatih kearahnya. Dengan penuh rasa syukur Mahiga bergegas merengkuh tubuh mungil itu dan dengan tangis tertahan dia berkata
“ Sanjaya anakku, kuatkan hatimu... suatu saat akan kita tuntut keadilan untuk kakek nenekmu dan ibumu. Ayah berjanji nak..”.  Bisik Mahiga ditelinga Sanjaya. Anak kecil itu hanya menatap polos pada ayahnya yang sudah basah oleh airmata.

Sanjaya masih sangat kecil untuk memahami apa yang telah terjadi. Kematian tragis Ibu dan kakek neneknya juga belum bisa dimengerti olehnya. Namun satu hal yang bisa ditangkap oleh matanya adalah banyak orang- orang dikampung ini sangat baik padanya.

Setahun telah berlalu, keadaan Mahiga sudah berbeda daripada setahun yang lalu. Sekarang tubuhnya terlihat kurus dan kuyu. Tiada terlihat mata yang bercahaya penuh semangat seperti setahun yang lalu sekarang hanya nampak kuyu dalam kesedihan.

Kematian istri dan mertuanya setahun yang lalu masih belum dapat terlupakan dan itu adalah pukulan telak yang hampir tidak kuat dia terima. Dalam hati sudah ditetapkannya bahwa suatu saat nanti dia akan mencari para pembunuh itu dan melenyapkan mereka selamanya dari muka bumi ini. Untuk saat ini dia harus fokus pada anaknya. Hanya karena melihat anaknya Sanjaya itulah yang membuat tekat untuk hidup normal masih ada dalam hati. Karena melihat tawa anaknya itu  rasa duka hatinya sedikit terobati. Sambil menata kembali hatinya, Mahiga mulai melatih anaknya dengan latihan dasar ilmu silat agar sewaktu – waktu tubuh kecil itu siap membela diri. 

Sanjaya sudah setahun dibekali oleh dasar – dasar ilmu silat yang hebat. Sekarang umurnya sudah 5 tahun. Mahiga sangat kagum melihat perkembangan sanjaya. Walaupun masih anak – anak akan tetapi sanjaya terlihat kuat, kokoh dan rajin bekerja sehingga membuat Mahiga semakin sayang. Kulitnya putih dan wajahnya tampan dengan sinar mata yang bercahaya seakan – akan Mahiga melihat wajah sitrinya Srikandi membekas diwajah anaknya itu
.
Berkali – kali dia menghela nafas dan kembali menguatkan hati kemudian dengan disaksikan oleh langit dia bersumpah dihadapan pusaran istrinya akan mendidik anak mereka dengan sungguh – sungguh walaupun maut taruhannya.

Mahiga mengutarakan niatnya pada penduduk untuk mendirikan sebuah perguruan silat dikampung tersebut. Hampir seluruh penduduk mendukung usul dari Mahiga karena dengan adanya perguruan silat akan memperkuat keamanan diperkampungan mereka.

Akan tetapi Mahiga tidak langsung melaksanakan niatnya untuk membangun perguruan karena saat ini dia akan pergi mencari pembunuh keluarganya hingga dapat ditumpas. Semua itu dikemukakannya pada kepala dusun yang baru bernama Ki Patya beserta beberapa tokoh masyarakat sesaat mereka sedang duduk dipendopo desa. Mahiga sekalian minta tolong pada Ki Patya dan warga dusun agar mengasuh anaknya selama dia tidak berada didusun. Ki Patya beserta warga menerimanya dengan senang hati karena mereka simpatik pada penderitaan Mahiga dan anaknya sanjaya sehingga mereka berebutan untuk mengasuh sanjaya dirumah mereka. Dengan penuh rasa haru Mahiga mengucapkan terima kasih pada mereka.

“ Sanjaya, untuk beberapa waktu engkau ayah tinggalkan...”. Ucap Mahiga. Tangannya mengelus rambut hitam sanjaya.
“ Ayah mau kemana?”. Tanya sanjaya. Mahiga tersenyum. Lalu diraihnya tubuh kecil itu.
“ Ayah akan membalaskan kematian keluarga kita Nak, untuk itulah engkau ayah tinggalkan bersama warga dusun. Tinggallah dirumah Ki Patya dan patuhi mereka. Bersediakah engkau anakku?
Sanjaya mengangkat mukanya dan dia berkata
“ Bersedia Ayah, anak akan patuh...”. Mahiga mengangguk puas atas ketaatan anaknya yang baru tumbuh itu.

Mahiga lalu membimbing anaknya menuju rumah Ki Patya. Setelah meninggalkan sedikit uang untuk biaya anaknya selama menginap, Mahiga segera meninggalkan dusun yang penuh duka itu untuk mencari sarang pembunuh keluarganya dan tujuannya adalah ke utara.

Waktu terus berlalu, tanpa terasa sudah hampir 2 tahun Mahiga berkelana untuk mencari jejak pembunuh itu. Sudah banyak dia bertanya pada sahabat – sahabatnya kaum persilatan tentang tempat tinggal para rampok hutan gombang. Sejauh ini masih samar hingga suatu hari dia mendapat surat rahasia yang menyebutkan posisi orang yang dicari. Mahiga sangat berterima kasih pada pengirim surat itu dan dengan penuh semangat dia lantas menuju kesarang rampok sesuai dengan petunjuk.

Akhirnya Mahiga menemukan sarang perampok tersebut, setelah mempelajari situasi maka dimulailah misi balas dendam itu. Mahiga laksana harimau terluka mengamuk dan membuat para rampok itu kalang kabut. Dengan segenap tenaga yang ada, Mahiga menghajar empat rampok hutan gombang tanpa rasa kasihan.

Walaupun dikeroyok lebih dari 14 orang karena gerombolan itu sudah mulai berkembang dan menerima anggota baru, namun Mahiga seperti kesetanan bergerak, memukul, menerjang dan menusukkan pedangnya pada musuh yang mencoba menyentuhnya hingga terlihatlah tubuh – tubuh yang terlempar keluar kalangan pertempuran dengan keadaan tewas.

Setelah bertempur selama 4 jam akhirnya satu persatu pentolan gerombolan rampok itu tewas di ujung pedangnya hingga satu ketika hanya dia dan si cambuk setan yang masih berdiri diantara mayat yang bergelimpangan. Tubuh dan pakaian Mahiga sudah memerah oleh darah lawan yang sudah tewas. Sorot matanya merah penuh dendam, dengan pedang berlumuran darah dia menuding pada si cambuk setan yang pucat pasi ketakutan.

“ Iblis kalian.... Pengecut hina kalian semua....!!!” bentak Mahiga menggeledek. Si cambuk setan menggigil. Dia ibaratnya seperti pelanduk yang sedang berhadapan dengan harimau lapar, sehingga untuk melarikan diri pun sudah tidak mungkin lagi. Bentakan Mahiga membuat telinganya mendenyut sakit.  Makin guguplah dia hingga bersuarapun sudah tidak kuasa.
“ Hari ini, aku akan membalaskan kematian keluargaku, Kau harus merasakannya seperti kawan – kawan mu itu...”. Desis Mahiga. Walaupun cuma mendesis namun ditelinga si cambuk setan sangat jelas terdengar dan semakin mengkuncupkan hatinya. Ngeri matanya menatap Mahiga yang berubah seperti malaikat pencabut nyawa.

Mahiga lalu Melangkah kearah si cambuk setan. Sorot matanya tajam menusuk. Si cambuk setan berusaha mundur dengan hati kebat – kebit namun sudah terbentur dinding ruangan sehingga tidak mampu apa – apa lagi. Si cambuk setan kemudian berlutut dihadapan Mahiga sambil meratap.
“ Ampun pendekar.... jangan cabut nyawaku... kasihanilah aku...”. dengan menggerung – gerung dia meratap memohon belas kasihan. Sayang sekali, Mahiga sudah dirasuki dendam sedalam lautan sehingga sudah tidak ada lagi rasa kasihan dihatinya terhadap pembunuh keluarga.
“ Apa kau bilang..? hahahaaaa.... “. Terdengar suara tawa Mahiga menggelegar disore itu. Tawa bercampur duka sehingga terasa menyeramkan bagi orang lain. Si cambuk setan menggigil ketakutan sambil terus memohon ampun.
Setelah puas mengumbar tawa, Pedang naga terangkat keatas dan siap untuk menebas kutung leher laan.
“ Bersiaplah kau menyusul kerabatmu, dan minta ampunlah pada keluargaku diakhirat....”. Selesai berucap, maka berkelebatlah pedang naga memutus kutung kepala sicambuk setan tanpa mampu dielakkan lagi. Bagai orang gila, Mahiga kembali mengumbar tawa. Suaranya yang seperti suara setan itu bergema lantang memenuhi hutan rimba itu dan membuat burung – burung yang sedang hinggap beterbangan ke angkasa akibat getaran tenaga dalam yang mengguncang pendengaran mahkluk disekitar tempat itu.

Setelah puas,matanya menyapu mayat – mayat yang berserakan. Sesaat dia ingat pada istrinya sehingga dengan terisak haru dia berbisik.
“ Istriku, tenanglah kau disisi tuhan, sakit hatimu sudah kubalaskan...”.

Sore semakin pasti berganti malam, sebagai seorang pendekar dia mau tidak mau harus menguburkan sosok – sosok tak bernyawa itu karena setelah raga itu kosong, maka tiada lagi kejahatan yang akan ditimbulkan. Apalagi dengan membiarkan mayat – mayat membusuk maka penyakit akan menyerang kampung – kampung yang berdekatan dengan bekas sarang gerombolan rampok ini. Dengan menggunakan perkakas seadanya Mahiga menggali lubang yang cukup lebar untuk menguburkan mayat – mayat tersebut.

Mahiga dengan rasa puas kembali melangkah. Setelah membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya, Dia akan pulang kedusun karena sudah sangat rindu pada anaknya. Tanpa terasa sudah lewat 2 tahun dia meninggalkan sanjaya bersama warga dusun yang sangat baik hati. Lalu dengan langkah lapang Mahiga menuju selatan. Cuma Sanjaya yang tersisa, dan itu sudah cukup untuk membawa langkahnya pulang kembali.

Begitulah suka duka sang pendekar, bisik Mahiga perlahan. Sudah puas rasanya mahiga melamunkan masa lalunya. Dia kemudian melangkahkan kaki kedalam rumah untuk menjumpai anak lelakinya.

Mahiga atau Si Pedang Naga sudah mulai memahami tentang kedukaan karena hidup adalah permainan hati yang menghadirkan suka dan duka untuk dirasakan. Semua itu adalah pelajaran yang sangat berharga untuk menguatkan mental. Apalagi bagi sang pendekar yang hidupnya selalu membela kebenaran, sudah pasti perjalanan hidupnya penuh liku, banyak cobaan dan tantangan dan jika semua itu tidak mampu dikuasai dapat dipastikan kejahatan terus merajalela dan kebenaran akan sulit ditegakkan kembali.

Setahun setelah pulangnya Mahiga kedusun dan sudah berkumpul kembali dengan anaknya, Maka pelaksanaan niat untuk membangun sebuah perguruan silat akhirnya terlaksana. Masyarakat bahu membahu dalam pekerjaan itu hingga dalam beberapa minggu, sudah berdiri bangunan yang kokoh dikelilingi oleh pagar yang tinggi terbuat dari pohon jati.

Letak perguruan itu tidaklah jauh dari dusun sehingga dalam keadaan apapun akses keluar dan akses masuk berjalan normal. Warga dusun sangat senang dan bangga karena telah berpartisipasi dalam pembangunan perguruan silat tersebut, tanpa disuruh mereka ramai – ramai mengabarkan kesetiap kampung bahwa didusun mereka telah berdiri sebuah perguruan silat yang diketuai oleh Si Pedang Malaikat. Maka berbondong – bondonglah para remaja dan pemuda mendaftarkan diri agar diterima dalam wadah perguruan itu.

Begitupun dalam kalangan dunia persilatan golongan putih, banyak dari mereka yang kenal maupun yang cuma mendengar tentang sepak terjang sipendekar ikut mendoakan semoga dalam arahan Mahiga akan mampu melahirkan taruna – taruna muda yang kuat dan bijaksana untuk berbakti pada bangsanya. Pada acara peresmian, Mahiga dan Sanjaya tampil dipodium. Dengan disaksikan oleh tamu undangan dari kalangan persilatan maupun dari warga, Mahiga mengucapkan terima kasih dan mengumumkan nama perguruan itu adalah “ Perguruan Pedang Naga”.

Waktu terus berlalu, Mahiga tidaklah muda lagi karena suka dan duka hidupnya telah memadamkan niatnya untuk berkelana. Setelah memimpin hampir 100 murid, Mahiga telah kembali bersemangat dan terus melatih membekali para murid dengan ilmu silat dan kesaktian lainnya sehingga dia merasa sangat puas dengan hasil yang diperoleh oleh para murid angkatan pertama. Hanya satu yang masih menjadi pertanyaan dihatinya yakni benda yang didapatkan sewaktu di negeri jepon dulu belum berhasil diselidikinya, karena khawatir terjadi sesuatu, maka benda tersebut dimusnahkan.

Pada malam harinya disaat Mahiga membekali para murid dengan pemahaman rohani, dia sering mengatakan bahwa tiada yang abadi didunia ini karena semua adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Esa. Hidup dan mati sudah pula digariskan.

Kedukaan hanya permainan hati semata, semakin diturutkan maka buruklah jadinya. Sebagai manusia tidak pantas rasanya untuk berlarut – larut dalam duka, karena semua itu sudah takdir hidup yang telah digariskan. Sudah seharusnya bagi yang masih hidup untuk berbuat kebaikan, menegakkan keadilan dan selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadinya sehingga akan terwujutlah keseimbangan dalam kehidupan manusia.

Demikianlah akhir dari cerita ini, penulis mencoba mengajak pembaca sekalian untuk dapat mempergunakan hidup sebaik – baiknya karena sebagai makhluk sosial kita dituntut untuk peduli pada sesama, lingkungan dan juga negara supaya terjaga selalu dan menimbulkan ketenangan dalam bermasyarakat.
Sampai bertemu lagi dilain cerita.

Saleum.



Aceh Besar, 07 Januari 2012


SETELAH MEMBACA ARTIKEL DIATAS, BAGAIMANA PENDAPATMU..

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

5 >>Komentar :

  1. wah izin mampir mas...
    Meski sudah telat mengikuti tapi gak apa-apa ya....
    Karena kita kan mahkluk sosial...

    BalasHapus
  2. Maaf Pak belum baca bagian yang lain, jadi blum bisa kommentar banyak ;)

    Malah mau tanya apa makna kata 'saleum'?

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Saleum" itu adalah bahasa aceh, dan jika ditranslate kan ke bahasa Indonesia artinya adalah "Salam". semoga dapat dipahami Bu,

      Hapus

Silahkan Beri Tanggapanmu Tentang Post diatas ^_^