TARI Ranup Lam puan merupakan salah satu karya seni
monumental yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam bahasa
Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas Aceh. Karya tari
yang berlatar belakang adat istiadat ini secara koreografi menceritakan
bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh menyambut tamu ini setiap gerakannya
mempunyai arti tersendiri. Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu
membuang tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi gambir
dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang. Meski hampir selalu
menjadi suguhan utama dalam setiap upacara penyambutan tamu di Aceh, namun
tidak banyak masyarakat Aceh yang tahu tentang asal usul dan siapa pencipta
tari ini.
Adalah Almarhum Yuslizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23
Juli 1937, Beliau lah pencipta Tarian Lanup Lam Puan yang fenomenal ini. Tarian
Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Selain menciptakan Tarian ini,
beliau juga menciptakan Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot,
Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda.
Tari ini, pada mulanya hanya terdapat di Kotamadya Banda
Aceh. Akan tetapi dengan cepat tersebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di
seluruh Aceh.
Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai
properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi hiasan kepala.
Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini diiringi orkestra atau
band. Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian lanup lam puan adalah Almarhum
T Djohan pengarang lagu Tanoh Lon Sayang. Maka jadilah irama musik Tarian Ranup
Lampuan seperti yang kita dengarkan selama ini.
Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi setelah menjalani
proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai
zaman. Maka tahun 1959 ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan
ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi
dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan
satu penari sebagai pemegang vandel.
Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari
para tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum
perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan oleh perempuan
saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu pertunjukan yang dirasakan
terlalu panjang, sehingga tari Ranup Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini
berjalan sekitar delapan tahun.
Pasca PKA ( Pekan Kebudayaan Aceh ) II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional
memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lam puan khususnya untuk iringan tarian.
Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya peran ini diganti dengan
iringan alat musik tradisional yaitu Serune kalee, Gendrang, dan Rapa‘i.
Pengubahan ini sejalan dengan permintaan dari panitia Festival tari tingkat
nasional 1974 yang meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik
tradisional pula. Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di BlangPadang.
Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup
Lampuan sama seperti merekam budaya Aceh, tari yang merefleksikan kehidupan
sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu. Sudah
seharusnya penciptanya pun mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat
masyarakat Aceh.
Saleum
sumber : www.dmilano.wordpress.com, aceh design
ijin follow ke 40, follback yah sob :)
BalasHapuswah... asyik juga ya kalau ada tamu disambut dengan tarian yang santai seperti itu.. rasanya damai
BalasHapus