Slider

VIDEO

BLOGGING NOTE

KULINER

SEJARAH

ACEH SELATAN

S O S O K

Gallery

Simbol Adat Dan Hukum Yang Umum Digunakan Di Aceh Selatan (Bag:1)

Simbol Adat dan hukum di Aceh Selatan
Seperti yang sudah ku tuliskan pada artikel terdahulu yakni pada Prosesi Adat Perkawinan Suku Aneuk jamee di Aceh Selatan dan Tradisi Khitan di Aceh Selatan, pada kedua acara ini mempunyai aturan yang berlaku secara turun temurun yang diatur oleh Pemangku Adat dan Pemangku Hukum. Setiap prosesi tidak boleh dipermainkan dan disepelekan karena akan dianggap melanggar dari adat kebiasaan dan diharuskan membayar kesalahan itu secara adat pula. Pada kedua acara tersebut diatas, terdapat tulisan mengenai simbol adat yang kutuliskan diantara paragrafnya. 

Simbol adat itu memang ada dan harus dipasang oleh pihak yang punya hajatan apabila acara khanduri (pesta) nya melibatkan pemangku adat dan hukum. Namun, harus pula dicermati bahwa  pemasangan simbol adat tersebut didalam rumah juga mempunyai aturan dan letaknya harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Jika difikir - fikir memang repot bila mengikuti aturan adat ya...?

Sahabat, walaupun pada dasarnya aturan adat di daerah kami di Kabupaten Aceh Selatan terlihat agak merepotkan, namun faktanya tidaklah demikian. Hal ini karena sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak dulu sehingga aturan adat dan hukum sudah mendarah daging dan tatkala dikerjakanpun tidak akan terasa memberatkan.

Aku pernah menanyakan masalah itu pada seorang ibu-ibu, beliau sudah dianggap sebagai sesepuh pada saat acara khanduri, ibu ituk menjawab,
 "jika sudah sering dikerjakan maka kita tidak lagi merasa itu memberatkan. Sebab itu adat kita, warisan para endatu kita dulu. Jika kami sudah tidak ada lagi, maka pekerjaan ini adalah tanggung jawab kalian pula".

Memang yang dikatakan nenek itu semuanya benar dan adalah tanggung jawab kami selaku generasi penerus yang harus menjaga adat dan tradisi dalam masyarakat agar tidak hilang tergerus zaman.
Sekarang mari kita mengenali simbol - simbol adat yang lazim digunakan didaerahku pada saat diadakannya khanduri (pesta).

1. Langik - langik.

Langik-langik ( panah kuning)

Langik - langik adalah kain merah polos yang dibentangkan untuk menutupi platfon rumah. Langik - langik itu mutlak dipasang sebagai syarat utama bahwa dirumah kita akan didakan khanduri /pesta. Biasanya apabila langik- langik tersebut sudah dipasang, itu menandakan bahwa pada acara kenduri (acara) tersebut melibatkan perangkat Adat dan Hukum.

2. Tabia (Tabir)


Tabia atau Tabir adalah kain yang bermotif kotak - kotak persegi panjang yang mempunyai 4 warna yakni merah,kuning, dan hijau (warna hitam merupakan opsional). Pada kain tabia ini disematkan sulaman benang emas yang bermotifkan lambang atau simbol aceh lainnya yakni berwarna merah, kuning, dan hijau yang manis dilihat. Sahabat bisa melihat pada gambar diatas. Pemasangan kain Tabia diikuti oleh pemasangan Banang ameh (perhatikan bagian atas kain tabia ). Banang Ameh merupakan pasangan dari kain Tabia tersebut. Cantik dan elegan.

3. Gabak - Gabak

Gabak - gabak
Penggunaan Gabak - gabak dalam sebuah acara / khanduri juga punya arti tersendiri. Walaupun terlihat hanya untuk menciptakan keindahan semata dan langik - langik tidak terlihat kosong saja, namun Gabak - gabak tetap harus dipasang berpasangan dengan Langik-langik.

4. Banta Basusun


Banta Basusun adalah susunan bantal yang berhias dengan benang emas lalu diberi sarung warna kuning. Penggunaan warna kuning karena warna kuning termasuk warna adat yang melambangkan kemegahan. Dalam sebuah kenduri / pesta baik itu sunat rasul maupun pernikahan, kehadiran Banta Basusun hukumnya wajib. Karena ditempat inilah nantinya perangkat adat dan hukum akan duduk sambil bermufakat. Disamping itu ditempat ini juga nantinya beberapa prosesi-prosesi adat dilakukan.

5. Mangacu

Mangacu adalah sebuah simbol adat yang berguna untuk menyampaikan beberapa pesan tersirat kepada tamu yang datang dan duduk di ruangan yang terdapat Banta Basusun. Mangacu biasanya berbentuk segi tiga dan terbuat dari kain merah yang disulam dengan benang emas dengan beragam motif. Di Aceh Selatan sebutan untuk simbol ini ada beberapa nama. Mangacu pada umumnya terbagi dalam dua variasi. pada versi pertama seperti gambar dibawah ini:


Simbol ini menandakan bahwa yang punya hajatan pada saat menyambut tamu - tamu yang berdatangan pada hari H nantinya akan menyembelih kerbau atau lembu dan pengerjaannya nanti melibatkan warga sekitar. Biasanya tanpa dikasih tau pun, apabila melihat simbol tersebut pasti sudah mengerti akan pesan dibalik posisi kain segi tiga yang disusun seperti piramida tersebut.

Versi kedua, Mangacu tidak digunakan tapi diganti dengan mangacu model lain, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini:


Simbol tersebut mengandung pesan bahwa yang punya hajatan tidak mempunyai rencana untuk menyembelih kerbau atau sapi (tanda panah kuning). Biasanya yang akan disembelih sebagai bahan hidangan untuk tamu nanti berupa kambing atau domba pada hari H nya.

Demikian dulu tulisan saya pada Simbol Adat Dan Hukum Yang Umum Digunakan Di Aceh Selatan Bagian I.  Terdapat nama - nama simbol adat di tulisan ini merupakan bahasa yang umum di wilayah Kluet Selatan. Bisa jadi di kecamatan lainnya akan berbeda, harap dimaklumi.

Prosesi Adat Perkawinan Suku Aneuk jamee di Aceh Selatan

Pada beberapa hari yang lalu TERAS ANEUK JAMEE telah menyuguhkan prosesi Khitan di daerah Aceh Selatan. Begitu banyak tahap yang harus dilaksanakan dari awal pesta hingga berakhir. Rasanya tidak lengkap apabila Prosesi Adat Perkawinan Suku Aneuk Jamee di Aceh selatan tidak disertakan. Seperti halnya prosesi khitan, prosesi perkawinanpun tidak luput daripada aturan – aturan yang telah ditetapkan oleh adat istiadat yang berlaku sejak dahulu. Jika melanggar aturan adat maka pihak tuan rumah pun akan mendapat malu. Seperti lazimnya didaerahku, Khanduri ( pesta) perkawinan pun memakan waktu hingga 3 minggu atau lebih.

Adat istiadat di kecamatan Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan bisa dikatakan sedikit berbeda dari adat aceh yang berlaku pada umumnya. Hal ini tidak terlepas daripada proses asimilasi budaya minangkabau ( pariaman) yang telah berbaur dengan kebudayaan lokal ditambah dengan hadirnya budaya suku kluwat (kluet) yang menyebabkan aturan dan simbol adat di daerahku semakin beragam. Perbedaan yang sangat jelas terlihat adalah mengenai penamaan prosesinya yang menggunakan bahasa minangkabau ( pariaman). Agar tidak bingung dan terus bertanya – tanya, silahkan lihat nama prosesi yang akan kutuliskan dibawah ini.

1. Ma isiak
Setelah sepasang pemuda dan pemudi merasa ada kecocokan hati untuk berumah tangga, maka si pemuda tersebut menemui salah seorang dari pihak /pertalian dengan ibunya atau pihak ayahnya untuk mendatangi pihak keluarga pemudi (calon istri) untuk menanyakan beberapa perihal sehubungan dengan hubungan anak – anak mereka itu. Prosesi ini tidak resmi karena pemangku adat dan hukum belum mengetahuinya. Walaupun demikian prosesi ini sudah jamak dan lazim dilakukan. Setelah kedua belah pihak mendapat jawaban dan kepastian, kemudian pihak keluarga laki – laki pamit dan masing – masing pihak akan melakukan musyawarah keluarga untuk tahap selanjutnya.

2. Manendai
Sesuai dengan hasil kesepakatan sewaktu marisiak tempo yang lalu, maka proses manendaipun dilaksanakan. Prosesi ini sering juga disebut dengan dengan batunangan ( bertunangan). Pada proses ini pihak keluarga laki – laki harus membawa jinamu (maskawin) berupa emas yang sudah ditetapkan ukurannya sesuai kesepakatan. Pihak keluarga laki – laki bertemu lagi dengan pihak keluarga perempuan yang disertai oleh hadirnya pimpinan adat dan hukum dirumah pihak perempuan. Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak keluarga dan dipimpin oleh pimpinan adat dan hukum juga akan membahas kapan ditentukannya proses selanjutnya yaitu Ijab – Qabul dan hari peresmian.

3. Mendaftar ke Keuchik sebagai Pengurus Adat dan hukum / Imam Chik ( Imam mesjid)
Kegunaan mendaftar ini untuk menyelesaikan administrasi seperti Biodata Calon pengantin dan biaya pernikahan. Kemudian data kedua calon pengantin itu oleh Keuchik (lurah) akan diserahkan kepada pihak KUA dikecamatan yang bersangkutan. Sementara itu tugas Imam Chik adalah sebagai petugas P3N ( Panita Panitia pelaksana Pencatatan  Nikah) akan melakukan tes agar calon pengantin mendapatkan sertifikat yang nantinya dibawa ke Kantor Urusan Agama pada saat pendaftaran.

4. Duduak Niniak Mamak
Niniak mamak merupakan sebutan terhadap pertalian wali dan garis keturunan dari orang tua. Dalam hal khanduri (pesta) adat, mereka punya peranan penting diantaranya sebagai penghubung pihak keluarga dengan pemangku adat dan hukum. Tujuannya adalah untuk memusyawarahkan beberapa hal seputar pelaksanaan khanduri ( pesta) yang akan dilangsungkan.

5. Duduak Rami
Dalam acara ini, warga gampong yang telah diundang akan datang. Tujuannya adalah mendengarkan hasil musyawarah yang telah dilakukan antara pimpinan adat dan hukum dengan pihak keluarga penyelenggara acara khanduri (pesta) sekaligus menyatakan bahwa rumah dan isinya telah dipulangkan secara adat kepada pemangku adat dan hukum dan diteruskan kepada masyarakat sebagai pengelolanya. Dalam penyampaian itu, pihak pemangku adat dan hukum akan menjelaskan kapan prosesi – prosesi selanjutnya dilaksanakan sehingga warga yang hadir akan mengetahui jadwal dan tugas mereka nantinya.

6. Melapor Ke KUA
Sebelum datang ke Kantor Urusan Agama (KUA), semua kelengkapan administrasi calon pengantin seperti surat pengantar dari Keuchik ( kepala desa) dan sertifikat dari P3N Gampong ( Panitia pelaksana Pencatatan  Nikah) serta peralatan adat lainnya harus dibawa. Kedua calon pengantin hadir dengan menggunakan pakaian adat atau pakaian yang disepakati oleh pemangku adat dan hukum dan mereka akan menanda tangani surat keterangan menikah dihadapan pejabat KUA, Adat dan hukum serta pihak keluarga masing – masing.

7. Ijab – Kabul
Prosesi ini ada yang dilaksanakan di masjid, di KUA dan ada juga dilaksanakan dirumah pihak wanita. Semua itu akan disesuaikan dengan situasi yang ada. Proses ijab qabul tersebut pada umumnya sama dengan kebiasaan yang ada di provinsi aceh, mungkin yang berbeda cuma dari pengucapan lafalz nya saja. Kalau didaerahku biasanya menggunakan bahasa yang dimengerti saja ( bisa bahasa aceh, bahasa Kluwat atau bahasa jamee. Tapi sering dilafalzkan dengan bahasa indonesia).

8. Antar Linto
Prosesi antar linto biasa dilaksanakan pada malam harinya. Antar Linto berarti pihak keluarga laki – laki dibantu masyarakat (perangkat adat dan hukum harus menyertai) mengantar sipengantin pria kerumah pengantin wanita. Pengantin pria diharuskan memakai pakaian adat lengkap begitupun dengan pengantin wanita yang menanti dirumahnya, juga mengenakan pakaian adat lengkap. Ada beberapa prosesi adat yang menyertai acara Antar Linto ini seperti : Lago payuang ( adu payung), Basandiang (duduk dipelaminan) dan sabuang ayam. ( penjelasannya ada dalam dokumen format PDF).

9. Antek Silamak /Panggil Surut
Jika sewaktu prosesi Antar Linto, pengantin pria diantar beramai – ramai ke rumah pengantin wanita, maka pada prosesi panggil surut ini kedua pengantin baru tersebut akan diantar oleh kaum ibu dari rumah pengantin wanita kerumah pengantin pria pula. Kedua pengantin berpakaian adat aceh, mereka dipayungi payung berwarna kuning dan bersama rombongan akan berkunjung kerumah pengantin pria untuk melaksanakan ritual adat.Tujuan acara ini adalah bersilaturami sambil memperkenalkan keluarga masing – masing.

10. Malam Mintak Izin
Pada prosesi ini salah seorang dari pemangku adat dan hukum akan berpidato didepan tamu undangan yang hadir, dan menyatakan bahwa acara khanduri (pesta pernikahan) sudah berakhir kemudian secara adat, rumah yang selama acara berlangsung telah dipulangkan kepada adat dan hukum dikembalikan kepada tuan rumah. Dalam acara ini pihak keluarga tuan rumah akan bersalaman sambil mengucapkan terimakasih dengan pemangku adat dan hukum beserta tokoh masyarakat lainnya.

11. Mangulang Jajak.
Setelah semua kegiatan pesta selesai, kira – kira satu atau dua minggu setelahnya, kedua pengantin datang kembali kerumah keluarga pengantin pria dan menginap semalam. Kedatangan mereka tidak lagi diiringi oleh penganjo atau pihak keluarga wanita dan juga tidak membawa apa – apa. Mereka hanya datang dan bermalam saja. Hal ini bermaksud bahwa walaupun sudah menikah dan tinggal jauh dari orang tua, pengantin pria tidak melupakan kedua orang tuanya dan rumah yang telah didiami selama ini.

Begitulah prosesi adat perkawinan yang yang lazim harus dilaksanakan oleh kedua mempelai dan juga pihak keluarga mempelai tatkala mengadakan kanduri (pesta) Pernikahan didaerahku. Dari sekian banyak tahapan diatas, sudah tentu ada beberapa diantaranya yang tidak sahabat mengerti maksud dan tujuannya. Memang ada kesulitan tersendiri yang kurasakan tatkala mengumpulkan data mengenai pesta perkawinan didaerahku karena tidak semua orang yang mengerti secara utuh mengenai adat dan simbol yang berlaku. Namun Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu, ayahandaku tiba dirumah dan kesempatan yang baik ini segera kumanfaatkan untuk mengumpulkan informasi mengenai ini. Perlu diketahui bahwa beliau merupakan salah satu tokoh masyarakat dan juga anggota dari Majelis Adat Aceh Selatan wilayah Kluet Selatan.

Mengingat bahwa tulisan ini akan sangat panjang jika kujelaskan secara lengkap satu persatu mengenai arti dan makna daripada prosesi yang tersebut diatas, maka sengaja kulampirkan data tersebut untuk didownload saja. Sahabat bisa membaca hingga tuntas artikel mengenai Prosesi Adat Perkawinan Suku Aneuk Jamee yang settingnya berada di kecamatan Kluet Selatan Kabupaten Aceh Selatan dalam format PDF. Download di SINI

Menelusuri tradisi Khitan Di Aceh Selatan


Kluet Selatan adalah sebuah kecamatan yang tergabung dalam wilayah kabupaten Aceh Selatan. Kluet Selatan beribukota Kandang yang terletak di gampong Suaq Bakong. Didaerah ini kehidupan masyarakatnya sangat damai dan tenteram. Ada beberapa suku yang mendiami gampong Suaq Bakong seperti suku Aceh asli, suku Aneuk Jamee dan suku Kluwat dan semuanya sudah membaur erat dengan masyarakat sekitar sehingga banyak terlahir adat budaya yang beragam. Walaupun dalam hal adat masih tetap berlaku aturan adat asli aceh, namun ada diantaranya telah terjadi pembauran dengan adat pariaman (minang) yang dianut oleh suku aneuk jamee sebagai suku mayoritas dikecamatan
Kluet Selatan. 

Setiap acara yang melibatkan pengurus Adat dan Hukum pada suku aneuk jamee di Kabupaten Aceh Selatan sangat unik serta mengandung makna yang mendalam disetiap prosesinya. Seperti halnya dengan prosesi Khitan ( Sunat Rasul ), Sejak awal hingga akhir harus diperhitungkan sebaik mungkin oleh tuan rumah dan kemudian harus disetujui oleh pimpinan Adat dan Hukum sehingga pelaksanaan acara tersebut nantinya berjalan dengan baik. Bukan berarti ada tindakan semena - mena yang dilakukan oleh pimpinan adat dan hukum sehingga harus disetujui atau tidak, namun semua itu erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat. Intinya begini, Jika pimpinan adat dan hukum telah menyetujui acara khitan tersebut maka seluruh masyarakat gampong (desa) pun akan mendukung dan ikut serta membantu pihak tuan rumah dari awal hingga akhir acara yang memakan waktu hingga 3 minggu itu. 

Adapun nama – nama prosesi acara khitanan di Aceh Selatan banyak menggunakan bahasa minangkabau yang telah dibaurkan dengan bahasa aceh dan bahasa kluwat, namun kurasa orang minang pasti mengerti juga. Baiklah saya akan melampirkan arsip foto untuk melengkapi postingan tentang Tradisi khitan di aceh selatan. (pernah ku posting di blog dmilano.com)

1. Duduak Niniak Mamak

Acara duduk Niniak mamak, untuk menentukan kapan dimulainya sebuah hajatan
Sebelum melaksanakan kenduri Sunat Rasul (khitan), pihak keluarga melakukan musyawarah dan mufakat dengan keluarga dekat yang disebut dengan Niniak Mamak. Peran daripada Niniak Mamak itu sangat vital dalam musyawarah itu dan tetap harus dilibatkan. Duduak Niniak Mamak dilakukan untuk menetapkan tanggal, hari dan bulan acara yang akan dilaksanakan. Setelah kesepakatan ditetapkan maka selanjutnya pihak keluarga menyiapkan persiapan, salah satunya mengutus salah satu dari yang bersangkutan untuk menghadap kepada pimpinan adat dan hukum serta mengabarkan hasil musyawarah tadi. Kemudian pihak adat dan hukum akan membahasnya, jika sudah disetujui maka tahapan selanjutnya akan dilaksanakan.

2. Pasang Tampek ( Mempersiapkan tempat acara )

Kaum Pemuda sedang membantu ibu - ibu memasang simbol adat didalam ruangan

Para pemuda sedang memasang Jambua ( teratak) dipekarangan rumah

Setelah waktu ditetapkan oleh pimpinan adat dan hukum, masyarakat yang diundang oleh tuan rumah (pemuda dan pemudi) bantu membantu melakukan persiapan untuk acara sunatan rasul (khitan) dirumah yang punya kenduri (pesta). 
Adapun proses persiapan itu akan dipimpin langsung oleh ketua pemuda setempat, tugas pemuda adalah memasang jambua ( teratak ) dan juga membantu kaum ibu untuk memasang langit - langit didalam. Sementara tugas kaum pemudi dan kaum ibu adalah memasang perlengkapan didalam seperti memasang tabie, memasang banta basusun dan mengatur letak gabak - gabak (simbol adat) agar sesuai dengan nilai adat yang dikandung ( hal ini akan diatur oleh seseorang yang mengerti simbol - simbol adat). Jadi, tidak sembarangan memasangnya sob.

3. Malam Duduak Rami (musyawarah dengan masyarakat)

Warga hadir dan berkumpul dirumah kenduri untuk mendengarkan wejangan dari Pemimpin adat dan hukum
Duduak rami merupakan acara vital yakni duduk bersama dengan segenap masyarakat desa terutama dengan pimpinan adat dan hukum serta perangkat-perangkat gampong (desa) lainnya, Acara ini biasanya dilaksanakan setelah usai shalat isya. Seluruh masyarakat gampong (desa) datang beramai - ramai ke rumah kenduri ( tempat pesta) sambil membawa buah tangan berupa sekilo gula pasir atau amplop berisi uang sekedarnya untuk disumbangkan kepada tuan rumah. 

Prosesi ini juga memberitahukan kepada masyarakat bahwa pimpinan adat dan hukum telah menyetujui acara kenduri tersebut sehingga masyarakat sudah berkewajiban untuk saling membantu karena dalam acara ini pihak tuan rumah akan menyerahkan secara resmi segala urusan dapur kepada masyarakat untuk dikelola sebaik mungkin selama acara kenduri ini berlangsung. Jadi nantinya, mengenai makan dan minum undangan semua sudah dibawah kendali orang dapur ( ada ketuanya ) untuk menghidangkan.

4. Ba Inai

Remaja putri sedang meletakkan inai dijari linto
Ba Inai atau memakai inai (pacar) di sekitar ujung jari tangan kaki pada Linto yang akan disunat rasul(khitan), kegiatan ini dimulai dari malam Duduak rami setelah tamu pulang hingga tiga malam berturut-turut. Ba Inai biasa dikerjakan oleh perempuan-perempuan remaja yang masih memiliki hubungan famili maupun tetangga dengan linto untuk memasang ditangan.
Linto adalah sebutan kepada mempelai pria dan kepada anak lelaki yang akan dikhitan
5. Basuntiang

Prosesi Basuntiang atau acara peusijuk
Basuntiang adalah prosesi peusijuk (pemberkahan secara adat) terkadang disebut juga dengan  acara Antek Inai (mengantarkan inai dan perlengkapan lainnya oleh ibu - ibu kepada linto). Prosesi ini biasanya akan dilaksanakan satu hari setelah malam duduak rami. Basuntiang  ini dilakukan oleh beberapa pihak keluarga terdekat atau yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang menyelenggarakan acara. 

Acara basuntiang ini sifatnya seperti utang tersirat artinya pihak tuan rumah yang sudah mendapatkan perlengkapan pesuntiang ini dari tamu atau keluarga dekat, berkewajiban melakukan hal yang sama pula pada saat pihak pesuntiang yang lain akan menyelenggarakan  acara  sunat rasul maupun acara pernikahan. Balas berbalas lah pokoknya. heheee..
Prosesi ini biasa dilaksanakan selama tiga hari sebelum Linto dikhitan.

6. Hari Urang Datang

Kaum ibu sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk memasak

Kaum bapak pun ikut berpartisipasi di bagian dapur, tapi khusus pada bidang memasak nasi
Maksud dari prosesi ini adalah dimana para ibu-ibu baik itu tetangga maupun dari luar gampong yang diundang datang beramai - ramai membantu menyiapkan persiapan untuk acara puncak pada keesokan harinya. Hal yang akan dilaksanakan pada prosesi ini antara lain mempersiapkan masakan untuk dimakan bersama nantinya. Pada prosesi ini kebanyakan yang datang adalah kaum ibu, dengan membawa buah tangan seperti gula atau kado yang nanti diserahkan pada keluarga tuan rumah. 

Setelah menyerahkan kado tersebut maka ibu - ibu tadi ikut membantu mempersiapkan masakan didapur. Bagi ibu - ibu yang sudah tua ( nenek - nenek) biasanya membantu mempersiapkan sirih bersusun dan keperluan lain yang berkaitan dengan prosesi puncak keesokan harinya.
Prosesi ini hanya melibatkan tamu - tamu dalam lingkar gampong (desa) saja.

7. Hari Puncak

Tamu undangan yang datang dari jauh dijamu untuk makan bersama oleh pihak tuan rumah
Pada hari tersebut tuan rumah telah memperisapkan jamuan ( makanan dan minuman) kepada para tamu undangan yang datang kerumah untuk mengucapkan kata – kata selamat dan bersalaman dengan Linto khitan dan orang tuanya. Jika kemaren yang datang adalah tamu - tamu dalam lingkar gampong saja, maka pada hari puncak ini, yang datang menghadiri merupakan undangan dari jauh dan tamu undangan dari dinas. Biasanya para tamu akan dihibur oleh hiburan - hiburan seperti tarian atau sekarang paling sering dihibur dengan musik keyboard (organ tunggal). 
Dihari tersebut merupakan hari dimana linto akan melaksakan proses khitan.

8. Mandi Pucuak (Mandi bersiram air dalam janur )

Linto dimandikan oleh pihak keluarga dengan menggunakan air yang diguyur via anyaman janur kuning
Prosesi ini dilakukan sekitar jam 2 - 3 siang. Acara Mandi pucuak adalah memandikan si linto dengan air dalam janur kuning, acara mandi pucuak ini akan dipimpin oleh ibu kepala desa kepada si linto secara bergiliran dilaksanakan hingga terakhir si linto akan dimandikan oleh kedua orang tuanya. Biasanya diacara ini akan disertai dengan alunan selawat dan tarian Hasyem Meulangkah. Sebelum prosesi mandi pucuak ini, si Linto akan terlebih dahulu dipangkas rambutnya oleh orang pilihan dari keluarganya.

8. Menyerahkan ke Mudin ( Tukang Khitan)

Prosesi Peusijuk ketika orang tua menyerahkan linto ke mudin ( tukang khitan)
Prosesi menyerahkan ke Mudin dilakukan setelah acara mandi pucuak, Linto kembali menggunakan pakaian adat aceh. Acara ini merupakan proses penyerahan anak dari orang tua ke mudin ( Tukang Khitan) dengan tujuan agar dalam proses khitan nanti si Tukang Khitan akan menjamin dan menjaga keselamatan si Linto seperti menjaga anaknya sendiri. Dalam sesi itu juga diadakan makan bersama antara si Linto dengan Mudin / mudem (Tukang Khitan)

9. Sunat/Khitan
Setelah serangkaian acara diatas, barulah masuk pada pokok acara yaitu Khitan. Acara yang mendebarkan hati ini  biasanya berlangsung setelah para undangan sudah pulang dan tinggallah sanak famili yang menunggu acara utama, biasanya proses khitan berlangsung sekitar sore hari. Waktunya akan ditentukan oleh mudin ( tukang khitan ) menurut ilmu alam yang dimilikinya. 

10. Bajago

Para pemuda ikut menjaga Linto yang sudah selasai di khitan
Pada malam harinya pun mereka berjaga jaga dirumah pesta
Bajago merupakan tradisi yang dilakukan oleh pemuda untuk menjaga si Linto pasca khitan. Setelah khitan, si Linto tidak boleh melakukan aktivitas yang bebas, hanya boleh tidur untuk mempercepat penyembuhan luka. Dalam proses penyembuhan inilah para pemuda akan berjaga dimalam hari selama tiga malam untuk melayani si sakit sampai  fajar. Selama  berjaga para pemuda melakukan aktivitas dengan bermain catur, bercerita dan aktivitas lainnya supaya tidak tertidur. Terkadang Linto dan warga sekitar dihibur oleh beberapa acara seperti tarian Seudati, Debus dan Bakaba. Hiburan tersebut tergantung pada kemampuan tuan rumah untuk mengadakannya.

11. Tuwun Ka ayia ( Membuka perban luka khitan )
Prosesi ini dilaksanakan setelah dua  atau tiga hari si Linto selesai dikhitan. Pada sesi ini Linto akan menjalani acara yang disebut Tuwun ka Ayia (pergi ke sumur dan melepaskan perban dikelamin yang telah di khitan). Linto akan dikawal oleh pamannya atau familinya membantu melepaskan perban tadi. Biasanya dilakukan setelah matahari naik, ( sekitar jam 9 pagi).
Pada siang harinya, dilaksanakan pembacaan doa yang dipimpin oleh salah satu ulama mesjid dan juga linto akan makan siang bersama dengan anak yatim.

11. Minta Izin
Acara ini adalah prosesi berkumpul kembali pimpinan adat dan hukum serta masyarakat dengan tuan rumah. Pada sesi ini tuan rumah menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat karena telah membantu mempersiapkan kenduri (pesta) dari awal hingga akhir dengan lancar. Setelah makan bersama maka pihak tuan rumah mengeluarkan empat buah jamba ( nasi tumpeng). Jamba tersebut akan diserahkan secara adat kepada  perangkat  adat dan hukum, ketua Pemuda, orang dapur ( telah ditentukan). Sementara satu jamba terakhir diserahkan kepada ketua kaum ibu yang telah membantu mempersiapkan perlengkapan adat. 

Acara minta izin ini biasa berlangsung pada malam hari setelah shalat Isya dan sekaligus sebagai tanda berakhirnya sebuah kenduri (pesta) di gampongku di Kecamatan Kluet Selatan dan Aceh Selatan pada umumnya. 

Begitulah sederetan prosesi dari tradisi Khitan dikecamatan Kluet Selatan Kebupaten Aceh Selatan. Dalam hal melayani undangan biasanya dijamu dengan hidangan dalam talam atau Baki. Namun belakangan ini tradisi menjamu sudah mulai digantikan dengan istilah adat perancis. Dimana tradisi ini merupakan adat barat dimana para undangan datang, makan dan pulang. So, mari melestarikan adat istiadat yang diwariskan nenek monyang kita sebagai penghargaan/bukti bahwa mereka pernah ada.
saleum

Khanduri Jeurat

Pernah dengar tentang Khanduri Jeurat? ini adalah sebuah tradisi yang sudah lama berkembang di aceh. Aku yakin didaerah sahabatpun ada tradisi ini cuma yang berbeda adalah nama dan prosesinya saja, namun maknanya tetap sama. Khanduri jeurat adalah mendatangi kuburan umum secara ramai-ramai, lalu berdoa bersama di kompleks pemakaman ini merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat Aceh.

Tiap tahun selalu diadakan khanduri jeurat untuk mendoakan yang telah meninggal. Tujuan lain dari tradisi ini adalah sebagai pengikat tali silaturrahmi sesama masyarakat gampong. Kegiatan tersebut sudah berlangsung turun-temurun sejak lampau dan masih hidup di beberapa daerah di Aceh. Namun, barangkali yang membedakan hanya persoalan teknis.

Tradisi ini dilakukan setiap hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Namun, kebiasaan khanduri jeurat lebih semarak pada hari raya Idul Fitri. Tidak diketahui secara pasti kapan dimulai tradisi ini di Aceh. Yang jelas, kebiasaan doa bersama dan khanduri jeurat ini sudah berlangsung sejak lama dan berlaku saban tahun.

Khanduri jeurat umumnya dilakukan pada minggu pertama atau minggu kedua hari raya. Khanduri jeurat hampir sama dengan tradisi ziarah kubur. Kegiatan ini diikuti oleh warga yang anggota keluarganya dimakamkan di kompleks pemakaman umum tersebut. Adapun ziarah kubur tidak dilakukan sesama warga, tetapi  hanya anggota keluarga yang meninggal dunia saja. Pihak keluarga mendatangi makam sanak keluarganya, tidak mesti di pemakaman umum, mereka berdoa di sana.

Dalam khanduri jeurat, doa dipimpin oleh Teungku atau ulama atau imam mesjid biasanya. Warga yang mengadakan khanduri jeurat membawa makanan ke kompleks pemakaman. Makanan itu nantinya disantap bersama seusai berdoa. Namun apabila khanduri jeurat bersifat menyeluruh satu gampong (desa) maka masyarakat akan bergotong royong membersihkan areal komplek perkuburan dan menyembelih ternak berupa kambing atau kerbau lalu dimasak bersama – sama di luar dari komplek perkuburan. Nanti setelah selesai berdoa, semua warga yang berkumpul akan makan bersama – sama dengan tengku.

Dari sisi agama, khanduri jeurat bertujuan memuliakan anggota keluarga yang sanak saudaranya sudah berpulang ke rahmatullah. “Yang tua dihormati, yang muda disayangi, sama halnya memuliakan arwah di dalam kubur. Secara hukum adat, khanduri jeurat sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak nenek moyang. Meskipun ada keramaian, khanduri jeurat bukanlah sebuah pesta, melainkan tradisi berdoa bersama.

Manfaat dari adanya khanduri seperti ini, sanak saudara yang jauh bisa berkumpul bersama-sama dan bersilaturrahmi. Sementara itu kegiatan khanduri akan diisi antara lain tadarus, memberi makan anak yatim, dan berdoa bersama.
Saleum...

Budaya Tulak Bala

Ritual-ritual di Aceh sangat beragam salah satunya adalah ritual tulak bala yang telah begitu melekat di masyarakat Aceh Selatan. Di berbagai kawasan di Aceh Selatan banyak mengadakan ritual tolak bala ini tapi cara mengadakan ritual ini berbeda-beda di kawasan Aceh yang lainnya.

Upacara tolak bala ini dilatar-belakangi sebagai ungkapan rasa syukur kepada ALLAH SWT. Karena sebagai manusia kita tidak ada yang sempurna dan banyak melakukan kesalahan baik itu disadari ataupun tidak.

Apabila hal ini terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara, salah satunya adalah menimpa manusia ini dengan berbagai musibah.

Maka dari itu dilaksanakannya upacara tolak bala untuk menghindari dari berbagai musibah.

Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempoe doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar. Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seum”
 . 
Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi. Setiap mau melaksanakan ritual tolak bala, Perangkat Adat dan Hukum gampong melakukan musyawarah, ini dilakukan hanya untuk formalitas saja. Prosesi tolak bala dilakukan dengan cara berdoa bersama-sama pada malam hari di meunasah, dayah, dan mesjid. Pada siang hari seluruh masyarakat pergi ke sungai, pantai, ataupun pemandian dengan membawa bekal makanan, baik berupa kue timpan, pisang goreng, ketupat singkong, lemang maupun ketupat ketan (pulut). Selain itu, juga mebawa “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing, makanan ini disimpan terlebih dahulu karna akan dimakan secara bersama-sama dan menunggu perintah dari teungku untuk memulai memakannya.

foto: diliputnews | Acara tulak bala


Setelah masyarakat berkumpul semua, maka ritual tolak bala dimulai dengan sekelompok laki-laki dewasa, yang dipimpin oleh Teungku Imum Cik membaca al Quran, sejak jam 10.00. Surat yang dibaca Al Baqarah (sapi betina), Al Kahfie (gua) dan Yasin. Dua surat pertama tidak dibaca seluruh surat, sekitar tiga sampai empat halaman. Setelah selesai baca Surat Yasin, baru dilanjutkan dengan baca tahlil, namun sebelum tahlil ada sesaji khusus yang harus dihanyutkan ke sungai dengan rakit batang pisang yang dihias dengan daun kelapa muda (janur).

Sesaji itu berupa kepala kerbau yang dipotong ditempat upacara, ayam warna putih, nasi putih dan kuning, gulai ayam, jeroan ayam hati dan rempela, kue apem, timpan, ketupat ketan, pisang goreng. Sesaji itu kemudian dibacakan doa yang dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala.

Tatkala teungku atau pemangku adat membasuhkan air tepung tawar ke mukanya, lalu ikatan daun itu pun dicelupkan ke air di sampan lalu dicipratkanlah ke kerumunan. Cipratan air itu pun menandai tepung tawar dan tolak bala. Orang pun ramai berebut daun dan air, ada yang membasuh muka, mengisi ke botol. Ada semacam keharusan untuk mengambil daun itu, untuk dibawa pulang dan digantungkan di atas pintu rumah. Bahkan ada yang menyimpan air tepung tawar itu, sampai berbulan-bulan.

Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian khanduri berupa makan. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari bunga yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala” yang datang dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.

Trus, apakah sekarang ritual - ritual seperti diatas itu masih ada?
Menurut penglihatanku, tradisi Tulak Bala atau Rabu habih/rabu habeh sudah banyak melenceng maknanya dari yang sebenarnya. Prosesi tulak bala sudah mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini acara tolak bala di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan pacar atau sesama saudara atau tetangga dengan motif yang berbeda-beda dari esensi kedalaman pemaknaan dari tolak bala itu sendiri. Beberapa perubahan itu dimana ritual tolak bala yang dianggap sakral dulunya. Sekarang hanya sebagai hari rekreasi bagi keluarga dan hura-hura. Sungguh sangat disayangkan...
Saleum..

Ranup Lam Puan, Tarian Pemulia Jamee

TARI Ranup Lam puan merupakan salah satu karya seni monumental yang dilahirkan oleh para seniman Aceh. Ranup Lampuan dalam bahasa Aceh, berarti sirih dalam puan. Puan adalah tempat sirih khas Aceh. Karya tari yang berlatar belakang adat istiadat ini secara koreografi menceritakan bagaimana kebiasaan masyarakat Aceh menyambut tamu ini setiap gerakannya mempunyai arti tersendiri. Seperti gerakan salam sembah, memetik sirih lalu membuang tangkainya, membersihkan sirih, menyapukan kapur, lalu memberi gambir dan pinang, sampai menyuguhkan sirih kepada yang datang. Meski hampir selalu menjadi suguhan utama dalam setiap upacara penyambutan tamu di Aceh, namun tidak banyak masyarakat Aceh yang tahu tentang asal usul dan siapa pencipta tari ini.


Adalah Almarhum Yuslizar yang yang lahir di Banda Aceh pada 23 Juli 1937, Beliau lah pencipta Tarian Lanup Lam Puan yang fenomenal ini. Tarian Ranup Lampuan diciptakan beliau ditahun 1959,. Selain menciptakan Tarian ini, beliau juga menciptakan Tari Meusare-sare, Bungong Sieyueng-yueng, Tron U Laot, Poh Kipah, Tari Rebana, dan Sendratari Cakra Donya Iskandar Muda.
Tari ini, pada mulanya hanya terdapat di Kotamadya Banda Aceh. Akan tetapi dengan cepat tersebar ke setiap kabupaten dan kota lainnya di seluruh Aceh.

Pada awalnya, tari ini tidak menggunakan selendang sebagai properti, dan penarinya memakai sanggul Aceh yang tinggi dihiasi hiasan kepala. Tarian yang berdurasi tiga sampai sembilan menit ini diiringi orkestra atau band. Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian lanup lam puan adalah Almarhum T Djohan pengarang lagu Tanoh Lon Sayang. Maka jadilah irama musik Tarian Ranup Lampuan seperti yang kita dengarkan selama ini.

 

Ranup Lampuan merupakan kreasi mentradisi setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tari tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai zaman. Maka tahun 1959 ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambah tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel.



Kemudian sekitar tahun 1966, setelah mendengar saran dari para tetua adat, bahwa pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum perempuan, maka alangkah baiknya jika tari tersebut ditarikan oleh perempuan saja. Begitu juga tentang persoalan durasi waktu pertunjukan yang dirasakan terlalu panjang, sehingga tari Ranup Lampuan mengalami pemadatan. Hal ini berjalan sekitar delapan tahun.

Pasca PKA ( Pekan Kebudayaan Aceh ) II tahun 1972, dengan munculnya seni tradisional memberi pengaruh terhadap tari Ranup Lam puan khususnya untuk iringan tarian. Semula iringan musik Orkes atau band selanjutnya peran ini diganti dengan iringan alat musik tradisional yaitu Serune kalee, Gendrang, dan Rapa‘i. Pengubahan ini sejalan dengan permintaan dari panitia Festival tari tingkat nasional 1974 yang meminta tari tradisional tampil dengan diiringi musik tradisional pula. Hal itu diubah ketika acara peresmian gedung pertamina di BlangPadang.

Bagi mereka pencinta tari Aceh, menelusuri jejak Tari Ranup Lampuan sama seperti merekam budaya Aceh, tari yang merefleksikan kehidupan sehari-hari orang Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu. Sudah seharusnya penciptanya pun mendapat tempat untuk diabadikan dan selalu diingat masyarakat Aceh.
Saleum

sumber : www.dmilano.wordpress.com, aceh design

Pakaian Adat Aceh selatan

Seperti daerah lainnya, pakaian adat aceh selatan mempunyai beberapa perbedaan dengan kabupaten aceh lainnya. Tidak mencolok sih tapi tetap nampak. Perbedaan tersebut sangatlah wajar karena jika dirunut pada sejarah, dimana pakaian adat aceh selatan sudah banyak dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh suku aneuk jamee. Pakaian adat tersebut tetap mempunyai makna dan perbawa tersendiri akan tetapi setelah ku telaah lebih dalam, makna pakaian adat kabupaten aceh selatan tidak berbeda dengan makna pakaian adat yang terdapat di aceh.

Sekarang akan kuperkenalkan pakaian adat kabupaten aceh selatan yang sebenarnya.

Pakaian Adat untuk Pasangan Linto dan Dara Baroe






ooo)))(((ooo